MITRA KERJA DENGAN JERMAN DAN KOREA

Meeting dengan Mitra Kerja di Hermes Palace Hotel dalam rangka membahas prospek program kerja serta strategi pelaksaan.

KUNJUNGAN CALON INVESTOR ASING

Kunjungan ini bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi yang dapat di jadikan target untuk investasi di Aceh

DOKUMENTASI LOKASI

Para Investor asing sedang melakukan dokumantasi dilapangan yang bertujuan untuk melengkapi data survey

EVALUASI HASIL SURVEY

Tim Survey Sedang melakukan evaluasi terhadap semua hasil survey yang telang di lakukan dilapangan untuk melakukan persipan lebih lanjut

KUNJUNGAN KERJA

Mitra kerja LSM Adelcom sedang melakukan kegiatan rutin dilapangan dalam rangka pematangan proses persiapan program.

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sunday 15 May 2011

Investor Thailand Bangun Pabrik Tapioka di Aceh

Investor asal Thailand, Thai Mechinery Associations and Thai Tapioka Associations berencana untuk membangun pabrik tapioka di Provinsi Aceh.
Thai Mechinery merupakan perusahaan penghasil tepung tapioka, dimana kilang mereka tersebar mulai dari Thailand, Vietnam, Nigeria dan Indonesia. Bahkan di Provinsi Lampung mereka memiliki 41 kilang.
Presiden Thai Mechinery, Prencha Temprom merencanakan memulai investasinya di Aceh dengan membangun beberapa pabrik, dimana dalam pembangunan satu pabriknya membutuhkan dana sekitar 10 juta US Dolar, dengan luas lahan 5.000 hektar per pabrik. "Untuk tahap awal kita akan mendirikan 5 pabrik," ujar Prencha Temprom saat melakukan pertemuan dengan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf di ruang kerjanya, Jumat (15/4).
Dari 5.000 hektare tersebut, rencananya juga akan melibatkan lahan pertanian milik penduduk, dan minimal mempekerjakan satu keluarga untuk setiap lima hektar lahan. Tentunya hal itu dapat mendongkrak perekonomian masyarakat.
Perusahaan tersebut juga dapat menghasilkan listrik dari biodiesel, yang dapat menghemat penggunaan listrik. Hasilnya juga cukup menjanjikan, dalam satu hari diperkirakan akan menghasilkan 1.000 ton singkong per satu pabrik atau 300-500 ton tepung tapioka. Keuntungan yang akan didapat Rp15 juta per hektar. Sedangkan panen akan dilakukan enam sampai sembilan bulan sekali.
Sementara Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menyatakan, saat ini kondisi Aceh yang semakin kondusif, sehingga memancing banyak perusahaan untuk berinvestasi di Aceh.
Gubernur menyambut baik kerjasama dengan investor Thailand tersebut, dan menyarankan perusahaan asing tersebut untuk segera mengurus izin, baik izin lahan maupun izin pendirian pabrik. "Saya menyambut baik kerjasama ini, dan saya harap dapat segera dimulai realisasinya," ujar Irwandi Yusuf seraya menambahkan, rencananya perusahaan Thailand ini akan bekerjasama dengan Rusha Asia Company.
Ramli Hasan selaku pimpinan perusahaan mengatakan, rencananya akan didirikan sejumlah pabrik di Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya atau Aceh Barat dan satu lagi di Aceh Selatan. (mhd)

ADeLCom-NGO bangun Industry tapioca di Aceh.

Tapioka adalah tepung dengan bahan baku singkong dan merupakan salah satu bahan untuk keperluan industri makanan, farmasi, tekstil, perekat, dan lain-lain. Menurut Syukri, MA Chairman of ADeLCom-NGO, teknologi pembuatan tepung tapioka pada industri rumah tangga adalah: Singkong dikupas, dicuci, kemudian diparut dengan mesin diesel hingga dihasilkan bubur singkong. Penambahan air perlu dilakukan agar proses pemarutan lebih lancar. Selanjutnya, bubur singkong disaring menggunakan kain kasa dengan mesh 100 - 120. Penyaringan dilakukan dengan menyemprotkan air sedikit demi sedikit melalui pipa-pipa. Hasil saringan diendapkan dalam bak-bak pengendapan sekitar empat jam. Setelah pengendapan dianggap cukup, air yang terdapat di bagian atas dibuang sebagai limbah cair dan tepung tapioka basah yang telah mengendap, yaitu berkisar antara 19% - 25% diambil dan dikeringkan dibawah sinar matahari. Pati yang sudah kering, digiling untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualits baik.

Singkong (manihot utilissima) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon, selain menghasilkan tepung, pengolahan tapioka juga menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Limbah padat seperti kulit singkong dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk, sedangkan onggok (ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada industri pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk bakar dan pakan ternak. Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain itu limbah cair pengolahan tapioka dapat diolah menjadi min uman nata de cassava.

Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar negeri seperti negeri b erasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.


ADeLCom-NGO berencana membangun pabrik tapioca dengan kapasitas produksi 400 ton per hari, serta pengembangan lahan ubi kayu seluas 4000 Ha di Aceh, diharapkan mampu menghasilkan bahan baku berupa ubi kayu 16 Ha per hari, untuk menutupi kebutuhan produksi pabrik tapioca, diharapkan pabrik ini mampu menghasilkan tepung tapioca dengan kualitas ekspor, serta akan menyerap tenaga kerja local, sedangkan melalui pengembangan lahan ubi kayu seluas 4000 Ha bermitra dengan 4000 Kepala Keluarga (KK) masyarakat yang memiliki lahan pada wilayah pengembangan, demikian di utarakan oleh Field Manager of ADeLCom-NGO Samsul Kamal melalui kegiatan pematangan dan evaluasi kerja team work ADeLCom-NGO di kantor meeting Room ADeLCom-NGO.
Chairman of ADeLCom-NGO Syukri, MA melalui E-mail, juga menyampaikan menyangkut dengan anggaran untuk membangun pabrik tapioca dengan kapasitas produksi 400 ton per hari, serta pengembangan lahan ubi kayu seluas 4000 Ha di Aceh, sudah mendapat respon positif dan dalam waktu dekat akan kita tanda tangani Agreemen. (Divisi Pemberitaan ADeLCom-NGO Junaidi dan Khairul Ifrad).

MENTERI KEHUTANAN MENANDATANGANI KERJASAMA PENANGGULANGAN ILLEGAL LOGGING DENGAN JEPANG

Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa telah menandatangani kerjasama dengan Pemerintah Jepang dalam penanggulangan illegal logging dan illegal trade hasil hutan di Tokyo pada tanggal 24 Juni 2003. Sebelumnya Menteri Kehutanan juga telah menandatangani MoU kerjasama penanggulangan illegal logging dan illegal trade of forest products dengan Pemerintah Inggris (April, 2002) dan Pemerintah China (Desember, 2002).
Kerjasama pemberantasan illegal logging dan perdagangan hasil hutan ilegal antara Indonesia dan Jepang dilakukan oleh Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa (Menteri Kehutanan) mewakili Pemerintah Repubiik Indonesia, dan Ms. Yoriko Kawaguchi (Menteri Luar Negeri Jepang) dan Mr. Yoshiyuki Kamei (Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang) mewakili Pemerintah Jepang.
Penandatanganan dokumen kerja sama tersebut merupakan tindak lanjut dari komitmen para Menteri Asia Timur tentang Forest Law Enforcement & Governance (FLEG) yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Bali, September 2001. Deklarasi Bali menggambarkan keprihatinan para pemimpin Asia Timur dan berbagai belahan dunia lainnya terhadap maraknya kegiatan penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan ilegal kayu-kayu hasil penebangan liar.
Jepang selama ini merupakan salah satu negara importir produk kayu terbesar dari Indonesia, sehingga patut diduga banyak kayu Indonesia yang berasal dari penebangan liar masuk ke pasaran Jepang. Atas dasar itu, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Kehutanan, berupaya keras untuk meyakinkan Pemerintah Jepang akan pentingnya kerjasama untuk memberantas illegal logging and associated trade of illegally logged timber, baik di Indonesia sendiri maupun di negara pengimpor, dalam hal ini Jepang.
Dokumen kerjasama dengan Jepang tersebut ditandatangani dalam bentuk Joint Announcement yang pada intinya berisi tujuan dan fokus-fokus kerjasama, serta Action Plan yang merupakan komitmen aksi yang akan dilaksanakan secara rinci, baik di Indonesia maupun di Jepang.
Inti dari kerjasama tersebut adalah pengembangan sistem verifikasi legalitas kayu untuk diimplementasikan di Indonesia dan Jepang, atas kayu-kayu yang diimpor baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui negara lain) oleh Jepang.
Action Plan atau rencana aksi yang telah disepakati dirinci dalam 53 (lima puluh tiga) kegiatan yang dibagi dalam rencana aksi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, mulai dari persiapan penyusunan system verifikasi kayu, pelibatan masyarakat dalam penanggulangan penebangan liar, pertukaran data perdagangan kayu, kerjasama antar institusi penegak hukum, sampai dengan pengembangan kapasitas sumber daya manusia yang akan mendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari.
Penandatanganan persetujuan kerjasama tersebut mempunyai arti penting, karena disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri dan Perdana Menteri Jepang Mr. Junichiro Koizumi, setelah kedua Pemimpin Pemerintahan tersebut mengadakan pertemuan bilateral yang membahas berbagai issue.

Jabon Merah, Pohon Unik Multiguna

Presiden SBY menanam pohon pada peringatan acara peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional Tahun 2009, Selasa (8/12) siang, di Kota Baru Parahyangan, Desa Ciherang, Bandung. (foto: anung/presidensby.info)

Bandung: Dalam acara peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional Tahun 2009, Selasa (8/12) siang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanam pohon Jabon Merah (anthocephalus macrophyllus), sedangkan Ibu Negara menanam pohon Jabon Putih. Kemudian diikuti serentak oleh 200 undangan di lokasi dan peserta lainnya sebanyak 1.000 orang, di Kota Baru Parahyangan, Desa Ciherang, Bandung.

Gubernur Harus Tegas terhadap Illegal Logging

Kalangan DPR-RI mendesak Gubernur Aceh Irwandi Yusuf agar bersikap tegas dalam menindak para pelaku pembalakan hutan secara liar (illegal logging) yang telah menyebabkan berbagai bencana alam seperti banjir bandang dan longsor di berbagai daerah.
"Gubernur Aceh saya minta supaya segera mengambil tindakan tegas. Jangan hanya moratorium logging tapi pencurian kayu jalan terus, bagaimana ini," ujar Anggota Komisi IV DPR-RI asal Aceh, Marzuki Daud kepada wartawan, Selasa (22/3) malam.
Politisi Partai Golkar ini mengakui moratorium logging memang sudah dilakukan Gubernur Aceh sejak Juni 2007, tapi anehnya pembalakan liar terus berjalan dengan mulus dan terkesan dibiarkan meski dengan mudah bisa dilihat.
Intinya banjir bandang yang terjadi Kecamatan Tangse, Pidie bukti nyatanya. Tentu kebijakan moratorium logging yang sudah berlangsung 3,5 tahun belum bisa dinikmati sampai saat ini. Ibaratnya, masih jauh panggang dari api.
Marzuki Daud juga meminta kepada Kapolda Aceh dan Pangdam Iskandar Muda (IM) untuk dapat betul-betul nanti memikirkan masalah keamanan hutan ini, sehingga masyarakat juga terlindungi.
"Saya harapkan memang kita bisa melestarikan hutan, bisa kita memamfaatkan hutan, apalagi bagi penduduk di sekitar hutan, tapi harus dijaga dengan baik. Tidak memotong kayu sembarangan," ujarnya.
Ditambahkan, dirinya dua hari lalu mengadakan rapat kerja dengan Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan mengakui bahwa di Aceh tidak HPH lagi yang beroperasi, tapi banjir bandang ini semua akibat pembalakan liar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, termasuk oleh masyarakat juga.
Jadi ini yang dihimbau oleh kami dari Komisi IV yang membidangi kehutanan mengharapkan ke depan tidak ada lagi illegal logging, jadi harus betul-betul dijaga oleh masyarakat jangan sampai terjadi. Kalau terus-menerus terjadi illegal logging begini, bagaimana rakyat kita merasakan kenyamanannya.
Pembahasan UU
Ditanya soal aturan hukumnya seperti apa, disebutkan, saat ini sedang disiapkan pembahasan UU Pembalakan Liar yang baru sebagai pengganti UU No. 41 dan dalam dua bulan ke depan ini sudah selesai UU tersebut. "Ini akan lebih dahsyat nantinya. Siapa saja yang melakukan pencurian kayu, akan dihukum penjara lima tahun ke atas," terang Marzuki Daud.
Lebih lanjut diminta agar masyarakat yang berdiam di sekitar hutan, juga perlu diberdayakan dan diberikan hak untuk mereka seperti HKM atau hutan kemasyarakatan seperti di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang.
"Itu memang ada diberikan, tapi itu harus dimanfaatkan dengan baik. Kayu arang misalnya.
Juga kalau memang mau melakukan pemotongan hutan ya harus ditanam dulu. Apalagi pemerintah pusat sudah menyiapkan 1,2 miliar pohon untuk ditanami termasuk untuk Aceh," tandas Marzuki Daud. (mhd)

ADeLCom-NGO kembangkan tanaman industry di Aceh. melalui “Program Pengembangan Agribisnis (P2A)”

Ditengah hangatnya kegiatan buffer zone untuk kepentingan konservasi atau daerah penyangga serta issue pemanasan global, banyak kegiatan baik yang di prakarsai oleh Pemerintah pusat maupun pemerintah Dearah di Indonesia, sampai saat ini belum tumbuh kesadaran dari berbagai pihak untuk pro aktif menjaga cadangan hutan yang telah hancur, ini semua hanya sebatas kegiatan kampanye yang sia-sia, kami Lembaga Swadaya Masyarakat Acheh Democratic Labour Community (ADeLCom-NGO), mencermati semua kenyataan ini, kami merespon lebih kepada persoalan yang mendasar yang mengakibatkan hilangnya cadangan hutan di Indonesia, ini semua tidak terlepas dari kebutuhan/kepentingan pembangunan di Aceh, sebenarnya tidaklah menjadi persoalan yang menguras banyak energy, hanya keseimbangan antara kebutuhan dengan pencadangan yang harus kita seimbangkan, baik melalui penanaman hutan industry maupun kegiatan penanaman hutan rakyat.

Dengan penerapan Moratorium Logging di Aceh, kami melihat hanya sikap untuk menghilangkan simpatik rakyat kepada Pemerintah Aceh, kalau kita kaji ulang penerapan ini tidak pernah menjadi solusi, karena pada hakikatnya hutan juga akan habis seiring dengan kebutuhan bahan baku kayu, sudah sangat jelas ini semua merupakan kebutuhan sandang masyarakat Aceh, yang harus kita lakukan tidak lain hanyalah mengembangkan tanaman industry pada lahan-lahan terlantar milik masyarakat.

Keadaan ini menjadi peluang emas seiring dengan penerapan Program Pengembangan Agribisnis (P2A) di Provinsi Aceh, melalui dana hibah dari Donatur luar Negeri, saat ini kami sedang mensurvey di beberapa Kabupaten yang potensial untuk kita kembangkan tanaman industry jenis Jabon (Anthocephalus cadamba), kita rencanakan secara bertahap akan kita kembangkan 3500 Ha, dengan sasaran mitra yaitu 3500 Kepala Keluarga (KK) atau masyarakat yang memiliki kebun dalam wilayah pengembangan program, kepada masyarakat yang menjadi mitra kita fasilitaskan:
1. Pinjaman modal usaha.
2. Pengadaan bibit kakao unggul.
3. Pendampingan, dan
4. Pembinaan yang berkelanjutan.
5. Pemasaran.

Kita harapkan 3500 KK yang menjadi mitra akan memiliki lapangan kerja baru serta mendapatkan penghasilan yang layak untuk mensejahterakan keluarganya.

Memang tidak mudah untuk melakukan semua ini, oleh karena itu kami sedang melakukan berbagai persiapan awal yang meliputi:
1. Survey lahan yang potensial, oleh team survey yang kami datangkan dari luar negeri.
2. Uji tanah oleh team ahli tanah yang kami datangkan dari luar negeri.
3. Pemetaan kawasan untuk pegembangan.
4. Pendataan dan registrasi bagi masyarakat yang menjadi calon mitra.
5. Agreemen dengan masyarakat yang menjadi calon mitra.

Setelah semua persiapan ini selesai kita laksanakan, kita adakan evaluasi untuk persiapan lebih lanjut, kami menargetkan pada pertengahan 2012 kita sudah dapat action, hal ini disampaikan oleh Chairman of ADeLCom-NGO Mr. Syukri, MA kepada mitra Donornya dari Korea Selatan melalui kunjungan kerja ke Indonesia (Selasa, 10 May 2011), dan mitra donor menyambut positif atas program yang di prakarsai oleh ADeLCom-NGO, serta menyatakan kesiapannya untuk mendanai melalui penandatanganan Agreemen. (Divisi Pemberitaan ADeLCom-NGO Junaidi dan Khairul Ifrad).

Aceh Jadikan Kakao Komoditas Ekspor

Banda Aceh, (Analisa)- Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengungkapkan, Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan kualitas ekspor di Provinsi Aceh.

Tak heran jika Aceh ditargetkan sebagai salah satu wilayah sentra kakao. Melalui kegiatan Aceh Cocoa Conference (ACC) industri kakao di Aceh diharapkan dapat distimulasi untuk mewujudkan target tersebut.

Permintaan pasar internasional sebenarnya cukup tinggi untuk biji kakao Aceh, sayangnya kualitas produksi kakao asal Aceh masih belum begitu baik. Data luas areal dan produksi kakao selama lima tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan, namun dari segi produktifitas masih rendah.

"Provinsi Aceh saat in sedikitnya memiliki sekitar 75 ribu hektare tanaman kakao masyarakat petani," ujar Gubernur melalui Sekdaprov T.Setia Budi saat membuka ACC di sebuah Hotel Berbintang Banda Aceh, Kamis (10/3).

Dalam perkiraan Pemerintah Aceh ada sekitar 120 ribu hektar lahan terlantar di Aceh yang bisa dikonversikan sebagai lahan bagi tanaman kakao. Tapi perluasan lahan saja tidak cukup, yang lebih penting adalah bagaimana petani kakao memahami cara bertanam kakao yang baik.

Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Ekonomi dan Ketenagakerjaan,Ir T.M.Bastian, M.Si mewakili Kepala Bappeda Aceh mengatakan, ACC merupakan salah satu kegiatan dari program Peningkatan Ekonomi Kakao Aceh (PEKA) yang diusung Swiss Contact dan didanai melalui program Economic Development Financing Facility (EDFF).

"Dari kegiatan ACC ini diharapkan ada jalinan kemitraan yang sehat antara petani dengan pembeli baik eksportir maupun perusahaan pengolah kakao," ujar Bastian.

Project Manager Swiss Contact, Manfred Borer menambahkan, jika petani mau mengembangkan dan menerapkan teknologi budidaya kakao secara benar, maka potensi produksi kakao Aceh bisa meningkat. Tapi tidak cukup hanya dengan membenahi pengetahuan dan ketrampilan petani kakao dalam mengelola kebun kakaonya.

Duduk Bersama

"Kita harus duduk bersama dengan pemerintah, para pelaku pasar, stakeholder lainnya yang terkait kakao untuk mencari solusi yang tepat demi mengatasi masalah yang ada. Karena itu kita berharap lewat ACC akan lahir kebijakan dari Pemprov untuk mendukung industri kakao Aceh," papar Borer.

Menurut Borer, secara topografi Aceh berpotensi besar dalam pengembangan kakao. Melalui PEKA yang didanai program EDFF, diharapkan produksi kakao Aceh akan meningkat baik secara kualitas dan kuantitas. Aceh juga berusaha membuka akses pasar yang lebih besar, utamanya untuk pasar ekspor.

ACC yang digelar dalam dua hari ini mengundang berbagai elemen, mulai dari Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Dinas Kehutanan dan Perkebunanan, Badan Penyuluhan, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi, UKM, Bappeda Aceh dan DPRA. Selain itu, sejumlah eksportir seperti Mars, Armajaro, Cargill, ECOM dan pabrikan seperti Petra, Barry Callebaut, Nestle dan Bumi Tangerang, juga para petani kakao Aceh yang menjadi produsen utama kakao di Aceh serta instansi lainnya yang terkait pada pengembangan kakao. (irn)

Swisscontact Gandeng BPTP Aceh dalam Pengembangan Kakao

LAST_UPDATED2 Oleh Jamal/ B Jumat, 17 Desember 2010 17:42
Penandatanganan naskah MoU antara Swisscontact dengan BPTP Aceh
Selama dua tahun, Swsisscontact menggandeng Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh dalam hal pengembangan ekonomi petani kakao yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU). Acara seremonial tersebut berlangsung Kamis (16/12) di Desa Paru Cot Kecamatan Bandar Baru Pidie Jaya, antara Kepala BPTP Aceh Ir T. Iskandar MSi dengan Manfred Borer, Manager Swisscontact.

Menurut Kasi Kerjasama dan Pelayanan Pengkajian BPTP Aceh, Ir Basri A. Bakar MSi, pada tahap awal, BPTP melakukan pengambilan sebanyak 65 sample tanah pada lima kabupaten sasaran yakni Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya. “Kita siap melakukan mulai minggu ketiga Desember, sehingga nantinya akan ada rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk kakao di lima kabupaten,” ujar Basri. Disebutkan, kerjasama juga meliputi pembinaan Sekolah Lapang, peremajaan, budidaya sampai pasca panen kakao.
Manager Swisscontact Mr. Manfred Borer disaksikan Kepala BPTP Aceh T. Iskandar saat penanaman bibit kakao unggul
Sementara itu Kepala BPTP Aceh T. Iskandar dalam sambutannya saat penandatanganan kerjasama mengatakan bahwa kakao merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis yang sudah digeluti masyarakat. Apalagi kakao menjadi unggulan daerah dan program gubernur Aceh dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat. “Saat ini rata-rata produktivitas kakao petani hanya 500 kg/ kg, sementara potensi hasil dapat mencapai rata-rata 2.000 kg/ha,” papar Iskandar. Oleh karena itu Iskandar menyampaikan terima kasih kepada Swisscontact yang telah mengajak BPTP bersama petani meningkatkan produktivitas dan kualitas pada sentra kakao Aceh.

Usai penandatanganan MoU, juga dilakukan penanaman 15 klon kakao terpilih sebanyak 350 batang di area yang sudah disiapkan sebagai percontohan. Hadir pada acara tersebut ketua Bappeda Pidie Jaya Ir Razali Adami MP mewakili Bupati, kepala Dinas Perkebunan Ir Bukhari, Kepala Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Pijay, Camat Bandar Baru, peneliti dan penyuluh BPTP serta kelompoktani. Ikut hadir ahli kakao Mohd Husen Purung dari Sulawesi Tengah. Jamal/ B

ADeLCom-NGO orbitkan “Program Pengembangan Agribisnis (P2A)” di Provinsi Aceh. Melalui pengembangan areal perkebunan kakao.


“Program Pengembangan Agribisnis (P2A) system multi level kelompok usaha” yang dirancang khusus oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Acheh Democratic Labour Community (ADeLCom-NGO) yang berkantor pusat di Kabupaten Bireuen, untuk menjadi solusi terhadap pengangguran dan angka kemiskinan di Aceh, semenjak awal 2009 ADeLCom-NGO telah mempromosikan program ini kepada calon mitra donor di beberapa negara, melalui dana hibah dari Donatur, saat ini kita sedang mensurvey di beberapa Kabupaten yang potensial untuk kita kembangkan kakao, kita rencanakan secara bertahap akan kita kembangkan 6000 Ha, dengan sasaran mitra yaitu 6000 Kepala Keluarga (KK) atau masyarakat yang memiliki kebun dalam wilayah pengembangan program, kepada masyarakat yang menjadi mitra kita fasilitaskan:
1. Pinjaman modal usaha.
2. Pengadaan bibit kakao unggul.
3. Pendampingan, dan
4. Pembinaan yang berkelanjutan.
5. Pemasaran.

Kita harapkan 6000 KK yang menjadi mitra akan memiliki lapangan kerja baru serta mendapatkan penghasilan yang layak untuk mensejahterakan keluarganya.

Memang tidak mudah untuk melakukan semua ini, oleh karena itu kami sedang melakukan berbagai persiapan awal yang meliputi:
1. Survey lahan yang potensial, oleh team survey yang kami datangkan dari luar negeri.
2. Uji tanah oleh team ahli tanah yang kami datangkan dari luar negeri.
3. Pemetaan kawasan untuk pegembangan.
4. Pendataan dan registrasi bagi masyarakat yang menjadi calon mitra.
5. Agreemen dengan masyarakat yang menjadi calon mitra.

Setelah semua persiapan ini selesai kita laksanakan, kita adakan evaluasi untuk persiapan lebih lanjut, kami menargetkan pada akhir 2012 kita sudah dapat action, hal ini disampaikan oleh Chairman of ADeLCom-NGO Mr. Syukri, MA dihadapan mitra donornya dari Korea Selatan, German dan Amerika Serikat, pada kegiatan presentasi program di Meeting Room Hermes Palace Hotel Aceh.

Diharapkan dimasa yang akan datang Aceh memiliki potensi ekspor berupa komoditi kakao. (Divisi Pemberitaan ADeLCom-NGO Junaidi dan Khairul Ifrad)

Potensi Pertanian dan Perkebunan

Daerah Aceh memiliki potensi besar di bidang pertanian dan perkebunan. Pertanian di daerah Aceh meng-hasilkan beras, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, jagung, kacang kedelai, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Se-dangkan di bidang perkebunan, daerah Aceh meng-hasilkan coklat, kemiri, karet, kelapa sawit, kelapa, ko-pi, cengkeh, pala, nilam, lada, pinang, tebu, temba-kau, dan randu.
Produksi hasil pertanian di Aceh menunjukkan data-data berikut: luas panen padi sawah dan ladang pada tahun 1997 adalah 337.561 Ha dengan produksi 1.382.905 ton; luas panen jagung adalah 25.312 Ha dengan produksi 58.312 ton; luas panen ubi kayu adalah 4.795 Ha dengan produksi 59.782 ton; luas panen ubi rambat adalah 3.220 Ha dengan produksi 31.345 ton; dan luas panen kacang kedelai adalah 71.252 Ha dengan produksi 90.517 ton.
Jumlah panen hasil pertanian tahun berikutnya (1998) adalah seperti berikut: luas panen padi sawah dan ladang 365-892 hektar, hasil produksinya 1.486.909 ton; luas panen ubi jalar 2.750 hektar, hasil produksinya 26.401 ton; luas panen ubi kayu 5.477 hektar, hasil produksinya 65.543 ton.
Daerah Aceh juga banyak menghasilkan sayur-sayuran dan buah-buahan, seperti bawang merah, cabe, kubis, kentang, kacang panjang, tomat, ketimun, pisang, mangga, rambutan, nangka, durian, jambu biji, pepaya, dan melinjo.
Hasil perkebunan utama dari Aceh pada tahun 1998 adalah kelapa sawit 258.315 ton dari hasil perkebunan rakyat dan 231.798 ton dari perkebunan swasta besar; karet 47.620 ton hasil perkebunan rakyat dan 17.153 ton perkebunan besar; coklat 8.865 ton hasil perkebunan rakyat dan 1.821 ton perkebunan besar; kelapa. 89.801 ton hasil perkebunan rakyat; kelapa hebrida 4.088 ton hasil perkebunan rakyat; kopi 41.244 ton hasil perkebunan rakyat; cengkeh 1.016 ton hasil perkebunan rakyat; Pala 7.130 ton hasil perkebunan rakyat; nilam 250 ton hasil perkebunan rakyat; kemiri 17.704 ton hasil perkebun¬an rakyat dan tebu 16.130 ton hasil perkebunan rakyat.
Sumber daya pertanian di Aceh tersebar di daerah Subulussalam, Singkil, Kota Lokop, dan Pulau Banyak. Potensi hasil perkebunan rakyat dan kehutanan tersebar di Krueng Jreu, Krueng Baro, Seulimun dan Takengon, meliputi komoditas utama kayu, kulit kayu, dan rotan.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More