MITRA KERJA DENGAN JERMAN DAN KOREA

Meeting dengan Mitra Kerja di Hermes Palace Hotel dalam rangka membahas prospek program kerja serta strategi pelaksaan.

KUNJUNGAN CALON INVESTOR ASING

Kunjungan ini bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi yang dapat di jadikan target untuk investasi di Aceh

DOKUMENTASI LOKASI

Para Investor asing sedang melakukan dokumantasi dilapangan yang bertujuan untuk melengkapi data survey

EVALUASI HASIL SURVEY

Tim Survey Sedang melakukan evaluasi terhadap semua hasil survey yang telang di lakukan dilapangan untuk melakukan persipan lebih lanjut

KUNJUNGAN KERJA

Mitra kerja LSM Adelcom sedang melakukan kegiatan rutin dilapangan dalam rangka pematangan proses persiapan program.

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sunday 24 July 2011

PENEMBAK CAGEE PAKAI MOBIL BK

ADELCOM NEWS
24 Juli 2011

Polisi Buat Sketsa Wajah Pelaku. 

Sumaini (5), putra kedua almarhum Amiruddin alias Saiful alias Cage (42), berdiri ditembok Masjid Desa Ulee Jalan, Bocah Sumaini (5), anak kedua almarhum Amiruddin Husen alias Saiful alias Cagee (42), berdiri di tembok Masjid Gampong Ulee Jalan, Peusangan Selatan, Bireuen, saat ibundanya bersama ratusan masyarakat melaksanakan shalat jenazah untuk sang ayah.

BANDA ACEH - Kapolda Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan mengatakan, pihaknya masih mengejar pelaku penembakan Amiruddin Husen alias Saiful alias Cagee (42), di depan Warung Gurkha, Matang Geulumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Bireuen, Jumat (22/7) malam.

Seperti diberitakan, mantan kombatan GAM tersebut meninggal dunia setelah ditembak oleh pelaku yang belum teridentifikasi. “Polisi telah memeriksa sejumlah saksi. Keterangan para saksi akan terus dikembangkan, termasuk yang menyebutkan pelaku menggunakan mobil pelat BK,” kata Iskandar Hasan menjawab wartawan  di sela-sela Musyawarah Provinsi (Musprov) II Perbakin Aceh di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh, Sabtu (23/7) siang.

Menurut Kapolda Aceh, keterangan tentang pelat mobil itu penting untuk pengembangan, walaupun tidak lengkap. Karena hurup belakang tidak kelihatan dan tidak diingat oleh para saksi.

“Semua informasi langsung dilacak termasuk melakukan koordinasi dengan Polda Sumut. Sejauh ini kita belum bisa pastikan apakah pelat nomor BK tersebut palsu atau asli. Menurut para saksi larinya ke arah timur dan sedang dilacak,” ujarnya.

Ditambahkannya, berdasarkan olah TKP, jumlah pelaku diperkirakan kurang lebih dua atau tiga orang dengan satu mobil. Dari olah TKP itu juga ditemukan beberapa saksi. Salah satu yang didapatkan dari para saksi adalah informasi untuk membuat sketsa wajah pelaku. “Sketsa wajah sedang kita proses,” kata Iskandar Hasan.

Kapolda menjelaskan, untuk kepentingan pengusutan, polisi juga akan melihat latar belakang si korban. “Kita belum mengarah ke satu titik. Artinya, kita masih dalam proses bekerjalah. Kalau kita lihat kemarin senjata laras panjang menurut keterangan saksi, nanti kita pastikan kembali. Kita uji laboratorium supaya tahu ini jenis senjata apa,” ungkap Kapolda Aceh.

Dengan AK-56

Sebelumnya, berdasarkan keterangan yang didapatkan polisi, mantan kombatan GAM tersebut meninggal dunia akibat ditembak dengan senjata laras panjang jenis AK-56 dari jarak dekat.

“Motif penembakan belum diketahui. Kami masih bekerja untuk mengusut kasus itu. Masyarakat diminta membantu,” kata Kapolres Bireuen, AKBP HR Dadik J melalui Kasat Reskrim, Iptu Novi Ediyanto, di rumah duka, Gampong Ulee Jalan, Peusangan Selatan, Bireuen, Sabtu (23/7).

Kasat Reskrim Polres Bireuen menyebutkan, menurut sejumlah saksi mata, korban ditembak dari jarak dekat antara 3-4 meter. Korban yang waktu itu hendak membuka pintu mobilnya, double cabin hitam BL 8787 sempat melihat pelaku, namun tak bisa memberikan perlawanan. Dari penyelidikan lapangan, polisi menemukan dua butir peluru kosong, dua butir peluru kat, dan satu butir proyektil jenis AK-56.

Mengenai mobil yang digunakan pelaku, menurut polisi adalah Avanza warna hitam berpelat BK namun belum diketahui nomor polisinya.  Insiden itu terjadi sekitar pukul 23.15 WIB di depan Warkop Gurkha, “Saat tembakan pertama dan kedua, diduga pelurunya tidak meledak. Korban terkejut dan sempat mencari asal suara tembakan. Seketika itu juga pelaku yang sudah berhadapan dengan korban langsung melepaskan tembakan lanjutan ke arah korban hingga mengenai kepala dan bahu kiri korban sehingga langsung meninggal di tempat,” ungkap Kasat Reskrim Polres Bireuen.

Polisi juga menginformasikan, pelaku yang menembak korban satu orang namun jumlah anggota komplotan pelaku diperkirakan lebih satu orang. Di antara pelaku, sebelum beraksi diduga sempat berpura-pura membeli nasi dan rokok di sekitar Warkop Gurkha.

Wadir Reskrim Polda Aceh, AKBP T Saladin SH yang ikut melayat ke rumah duka mengimbau masyarakat, terutama teman-teman korban agar tidak menduga-duga siapa pelakunya. “Percayakan saja kepada aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus ini,” kata Saladin.(c38).

Sumber: Serambi Indonesia edisi 23 Juli 2011.


IRWANDI BERBAUR DENGAN RIBUAN PELAYAT.

ADELCOM NEWS
24 Juli 2011

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf ikut menghadiri acara pemakaman jenazah almarhum Amiruddin alias Saiful alias Cage (42), di Desa Ulee Jalan, Peusangan Selatan, Bireuen, Sabtu (23/7). Korban meninggal ditembak OTK dengan senjata laras panjang jenis AK-56, di depan Warkop Gurkha, Keude Matang Geulumpangdua, Bireuen, Jumat (22/7) malam. 

BIREUEN – Ribuan warga dari berbagai pelosok desa di Kabupaten Bireuen dan daerah lainnya melayat ke rumah duka almarhum Amiruddin Husen alias Saiful alias Cagee (42), di Desa Ulee Jalan, Kecamatan Peusangan Selatan, Bireuen, Sabtu (23/7). Di antara ribuan pelayat tersebut, termasuk Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.

Jenazah almarhum dimakamkan Sabtu pagi kemarin di pemakaman keluarganya, bersebelahan dengan makam ayahnya, Husen Rantoe. Prosesi pemakaman dihadiri Gubernur Irwandi Yusuf, Bupati Bireuen Nurdin Abdul Rahman, Dan Yonif 113/Jaya Sakti Mayor (Inf) Triadi Murwanto, Wadir Reskrim Polda Aceh AKBP T Saladin SH, serta sejumlah tokoh formal dan informal lainnya.

Irawati, seorang keluarga korban yang ditemui Serambi mengatakan, ketika hendak keluar dari rumahnya di Desa Lueng Danun, Peusangan Siblah Krueng pada malam itu, Cagee sempat mencium putri bungsunya, Nazila Sahira. Bahkan sebelum kejadian, Cagee sempat menelepon istrinya, Nurhasyimah menanyakan makanan apa kesukaannya untuk dibawa pulang. “Tiba-tiba keluarga kami mendapat kabar kalau Amiruddin meninggal kena tembak,” kata Irawati.

Almarhum meninggalkan seorang istri, bernama Nurhasyimah (35) dan empat anak, Nursafitri (15), Sumaini (5), Surya Nuzula (2), dan Nazila Sahira yang masih berumur sembilan bulan. (c38)

pejabat dan tokoh yang melayat:
* Gubernur Irwandi Yusuf
* Bupati Bireuen, Nurdin Abdul Rahman
* Dan Yonif 113/Jaya Sakti, Mayor (Inf) Triadi Murwanto
* Wadir Reskrim Polda Aceh, AKBP T Saladin SH
* Mantan Wakapolres Bireuen, Kompol Armaini
* Kabag Kesbang Pol Linmas Bireuen, Sulaiman Azis
* Kasat Reskrim Polres Bireuen, Iptu Novi Edyanto
* Camat Peusangan Selatan, Said Sulaiman
* Munadir Nurdin, anggota DPRK Bireuen          
* Tgk Mulyadi, anggota DPRK Bireuen
.

Sumber: Serambi Indonesia edisi 24 Juli 2011.
 
 

CAGEE DITEMBAK MATI

ADELCOM NEWS
24 Juli 2011
BIREUEN - Saiful Husen atau yang lebih dikenal dengan Tgk Cagee, salah seorang mantan kombatan GAM yang pernah memegang jabatan sebagai Ketua KPA Wilayah Batee Iliek, tadi malam ditembak mati oleh orang yang belum teridentifikasi. Korban ditembak tiga kali di bagian kepala dari jarak dekat. Kasus penembakan Cagee terjadi sekitar pukul 23.15 WIB, Jumat (22/7) saat korban sedang di depan Warung Kopi Gurkha, Matang Geulumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Bireuen.  Waktu itu Cagee terlihat akan berangkat meninggalkan warung kopi setelah minum-minum dengan beberapa kawannya. Ketika hendak membuka pintu mobilnya (belum diketahui mobil apa), saat itulah terdengar letusan senjata api disusul tersungkurnya korban.

Hampir bersamaan dengan tersungkurunya Cagee, terlihat sebuah minibus warna hitam (disebut-sebut Avanza) yang sejak awal parkir di dekat mobil korban langsung tancap gas dengan kecepatan tinggi ke arah Lhokseumawe. Saksi mata meyakini pelaku penembakan berada dalam minibus tersebut. Ratusan warga yang saat itu berada di Keude Peusangan berhamburan ke lokasi kejadian saat mengetahui Cagee tertembak. Korban yang bersimbah darah secepatnya dilarikan ke RSUD dr Fauziah Bireuen dengan ambulans diikuti masyarakat dan kerabat korban.

Berita kejadian itu merebak cepat ke seantero Bireuen. Sekitar 15 menit di rumah sakit, jenazah korban dibawa pulang ke rumah duka di Gampong Meunasah Dayah, Lueng Daneun, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Bireuen.  Kapolres Bireuen, AKBP HR Dadik J yang ditanyai Serambi sekitar pukul 00.10 WIB, Sabtu (23/7) mengatakan, timnya sedang bekerja mengumpulkan berbagai informasi, data, dan fakta di lapangan.  Dugaan sementara korban ditembak tiga kali di bagian kepala dari jarak dekat. Korban meninggal di lokasi kejadian. Polisi belum bisa memastikan jenis senjata yang digunakan pelaku, termasuk motif penembakan tersebut.

Hingga Sabtu dini hari, ribuan warga masih memadati Keude Peusangan Bireuen dan UGD RSUD dr Fauziah meskipun jenazah Saiful sudah dibawa pulang. “Kita masih terus bekerja untuk mengungkap kasus ini,” kata Kapolres Bireuen. Saiful Husen yang lebih dikenal dengan panggilan Cagee merupakan salah seorang mantan kombatan paling berpengaruh di kalangan GAM. Cagee pernah menduduki jabatan sebagai Ketua KPA Wilayah Batee Iliek dan akhirnya meletakkan jabatan tersebut karena berseberangan dengan komando.

Seperti banyak diberitakan, pergesekan antara petinggi KPA Wilayah Batee Iliek dengan DPW PA Kabupaten Bireuen berawal Februari 2011 ketika Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh menetapkan dr Zaini Abdullah-Muzakir Manaf sebagai cagub/cawagub Aceh yang akan diusung pada Pilkada 2011. Keputusan itu ternyata ditentang oleh Cagee cs dari KPA Batee Iliek. Mereka mengusulkan kembali Irwandi Yusuf sebagai cagub. Karena DPA-PA tetap pada keputusannya, akhirnya Saiful Husen meletakkan jabatan.

Sumber: Serambi Indonesia, edisi 23 Juli 2011.

Sunday 26 June 2011

PERANG ACEH DI KUTA GLEE BATEE ILIEK BIREUEN

 Juma't 26 Juni 2011
Waktu Aceh (WA) 20.00
Adelcom News


Teungku Cut Sa’id yang ato prang, ato rakan kameuteuntee
Dalam kuta gle yang that meuceuhu, Yang to bak u dum meuribee
Dalam kuta gle yang that meusigak, Ateuh seulambak le that guree
Kafe dum jiplueng keudeh u laot/ Geulet di likot meuree-ree...

Itu sepenggal syair Aceh tentang kisah Kuta Gle. Bukit itu bekas benten pertahanan pejuang Aceh, dan selama 30 tahun mampu bertahan melawan Belanda. Benteng itu adalah bukit yang terletak bagian hulu sungai Batee Iliek Samalanga, perbatasan Pidie Jaya-Bireuen. Cerita tentang seorang pahlawan pimpinan perang Kuta Gle Tgk. Cut Sa’id. Juga digambarkan bagaimana serdadu Belanda kalah telak menghadapi ketangguhan pejuang Aceh di Samalanga.

Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh wanita bernama Pocut Meuligoe. Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.

Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara. Tiap Batalion terdiri tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga.

Pejuang Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang diikutkan dalam penyerangan. Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta siblsah.

Raja Samalanga Teuku Chik Bugis dan Pocut Meuligoe masih berkuasa penuh, meskipun Belanda sudah menguasai. Belanda tidak berani mendekati bentenguta Gle Batee Iliek. Seperti ditulis Paul Van ‘T Veer dalam bukunya De Atjeh Oorloq (Perang Aceh: 1985) mencatat, Benteng Kuta Gle Batee Iliek adaah pusat perlawanan Aceh yang sangat tangguh bagi Belanda. Dan Batee Iliek sendiri adalah sebuah “dusun kramat” dan pemukiman para ulama yang sangat fanatik dalam menentang perluasan kekuasaan Belanda.

Satu ketika setelah tiga tahun Samalanga sepi dari peperangan, taba-tiba tanggal 30 Juni 1880, Letna Van Woortman dengan 65 orang pasukannya mencoba menyusup ke Bneteng Kuta Gle Batee Iliek. Namun sampai di Cot Meureak (kira-kita sekitar 2 Km ke arah Utara Betee Iliek) ke 65 pasukan Belanda itu di hadang oleh gerilia pasukan Aceh.

Dalam insiden itu banyak serdadu Belanda mati dan terluka parah. Peristiwa ini segera disampaikan ke Banda Aceh sehingga. Gubernur Van Der Heijden berang karena serdadunya kalah. Maka tanggl 13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle Betee Iliek.

Ekpedisi ini Belanda mengerahkan satu kompi Belanda, 1 kompi Inlander dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari Batalion campuran, juga dilengkapi 32 perwira dengan 1200 bawahannya diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda. 


Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu mereka. Tepatnya tanggal 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Teuku Chik Bugis (raja Samalanga) minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh dalam jumlah yang sangat besar.

Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi mebuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak sekali tentaranya yang tewas akibat dikibuli Teuku Chik Bugis. Hari itu juga Chik Bugis ditangkap olen Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun begitu, benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan pasukan Aceh yang sangat ditakuti Belanda.

Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T Veer mencatat dalam bukunya “Perang Aceh” bahwa Batee Iliek adalah sebuah kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ahli Alquran (yang dimaksudkan Van ‘T Veer para ahli Al-Quran adalah para ulama pejuang Aceh) yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda-selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran, tulis Van ‘T Veer.

Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-serangan besar Belanda, pada tahun 1901 Jenderal Van Heutsz kembali memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek. Sehari sebelum penyerangan Van Heutsz ke Batee Iliek ini, Van Heutsz lebih dulu merayakan Ultah ke 50 (tanggal 3 Februari 1901).

Untuk membakar semangat perang bagi serdadu Belanda, Van Heutsz, seorang tokoh legendaries perang Belanda Izaak Thenu sengaja mengubah sebuah syair khusus untuk perang Samalanga. Bunyinya: mari sobat, mari saudara Pergi perang di Samalanga, Mari kumpul bersuara Lalu menyanyi bersama-sama.

Namun ekspedisi ini berhasil dilumpuhkan, hingga Van Heutsz baru berhasil menaklukkan Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh di wilayah Batee Iliek. Bahkan menurut sebagian cerita sejarah yang difahami penduduk Samalanga, Van Heutsz sendiri tewas di Batee Iliek, yang kuburannya sekarang terdapat di atas bukit Betee Iliek tak jauh dari Benteng Kuta Gle.
(Divisi Pemberitaan Adelcom NGO).



Wednesday 22 June 2011

GALLERY

Chairman/CEO of POSFEE Holdings Co, Ltd. Mr. Kwon Ki Hyung 
dan Chairman of ADeLCom NGO Mr. Syukri, MA, beserta team 
setelah menanda tangani dokumen Agreemen untuk investasi di Aceh.
 
Donatur ADeLCom NGO, sedang melakukan silaturrahmi
dengan kelompok binaan program.
Pengusaha besar Korea Selatan President of 
Global Campaigh for Freedom Asia Region Dr Jun Sun Lee, 
President of HT & PARTNERS LIMITED Jung Gon Kim, 
Presiden of VOGO KORA Mr. Kwon Jeong Sang, 
sedang membahas strategi pengembangan bisnis di Aceh, 
dengan Chairman of ADeLCom NGO Mr. Syukri, MA, 
di Hermes Palace Hotel, Aceh.
President of Global Campaigh for Freedom Asia Region Dr Jun Sun Lee (kanan), 
President of HT & PARTNERS LIMITED Jung Gon Kim (tiga kiri), 
Chairman of ADeLCom NGO Mr. Syukri, MA, (dua kiri) 
Staff of VOGO KORA Mr. Jon Kenedi (kiri), di Hermes Palace Hotel, Aceh
Perwakilan NGO asal New York United Stated America Mr. Jhon 
dan Chairman of ADeLCom NGO Mr. Syukri, MA, 
setelah membahas isu penting menyangkut dengan masa depan Aceh.
Perwakilan Mitra kerja Luar Negeri bersama Team of ADeLCom NGO, 
pada saat mengunjungi calon lokasi Program di Aceh.
Agreemen bersama yang ditandatangani oleh 
Chairman of POSFEE Holdings, Co.  Ltd. Mr. Kwon Ki Hyung, 
President of INNOGEO Technologies Inc. Mr. Lee Sang Don, 
Presiden of VOGO KORA Mr. Kwon Jeong Sang, 
dan President Poju Group Investment Company 
(badan usaha milik ADeLCom NGO) Mr. Syukri, MA. 
Untuk investasi bidang Energi di Aceh.
Perwakilan Mitra kerja Luar Negeri bersama Team of ADeLCom NGO, 
pada saat mengunjungi lokasi pelaksanaan Program di Aceh.
Perwakilan Mitra kerja Luar Negeri bersama Team of ADeLCom NGO, 
pada saat mengunjungi calon lokasi Program di Aceh
Perwakilan Partner kerja Luar Negeri bersama Team of ADeLCom NGO, 
pada saat mengunjungi lokasi pelaksanaan Program di Aceh.
Meeting untuk persiapan investasi pada bidang Energi di Aceh, 
yang diikuti oleh masing-masing perwakilan yaitu:
Chairman of POSFEE Holdings, Co.  Ltd. Mr. Kwon Ki Hyung, 
of INNOGEO Technologies Inc. Mr. Lee Sang Don, 
Presiden of VOGO KORA Mr. Kwon Jeong Sang, dan 
President Poju Group Investment Company 
(badan usaha milik ADeLCom NGO) Mr. Syukri, MA

Team Work of POSFEE Holdings, Co.  Ltd., INNOGEO Technologies Inc., 
VOGO KORA, and Poju Group Investment Company 
(badan usaha milik ADeLCom NGO), setelah meeting.
Partner kerja Luar Negeri ADeLCom NGO 
Mr. Kwon Ki Hyung, bersama Mr. Zaini.
Partner kerja Luar Negeri ADeLCom NGO 
Mr. Kwon Ki Hyung, bersama Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar.
Perwakilan Partner kerja Luar Negeri bersama Team of ADeLCom NGO, pada saat mengunjungi lokasi pelaksanaan Program di Aceh.
Perwakilan Partner kerja Luar Negeri 
bersama Team of ADeLCom NGO, pada saat mengunjungi fasilitas 
Pelabuhan Malahayati Krung Raya, Aceh Besar.
Tenaga Ahli dari luar negeri yang diundang oleh ADeLCom NGO, 
untuk melakukan penelitian pada calon lokasi program.
Chairman of ADeLCom NGO, di lokasi program.
Perwakilan Partner kerja Luar Negeri bersama Team of ADeLCom NGO, 
pada saat mengunjungi Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.
Perwakilan Partner kerja Luar Negeri bersama Team of ADeLCom NGO, 
pada saat mengunjungi usaha kopi di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah.
MITRA KERJA DENGAN JERMAN DAN KOREA
Meeting dengan Mitra Kerja di Hermes Palace Hotel  
dalam rangka membahas prospek program kerja serta strategi pelaksaan.
KUNJUNGAN CALON INVESTOR ASING
Kunjungan ini bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi yang 
dapat di jadikan target untuk investasi di Aceh
DOKUMENTASI LOKASI
Para Investor asing sedang melakukan dokumantasi dilapangan
yang bertujuan untuk melengkapi data survey.
EVALUASI HASIL SURVEY
Tim Survey Sedang melakukan evaluasi terhadap semua hasil survey
yang telang di lakukan dilapangan untuk melakukan persipan lebih lanjut
KUNJUNGAN KERJA
Mitra kerja LSM Adelcom sedang melakukan kegiatan 
rutin dilapangan dalam rangka pematangan proses persiapan program.

Sunday 19 June 2011

SOSOK YANG IDEAL SEBAGAI GUBERNUR ACEH

Aceh, 19 Juni 2011
Jam 15.00 Waktu Aceh (WA)
Adelcom News


“...Nak jaga dan bangun Kelantan tak sulit bagi saya. Yang sulit adalah nak jaga diri saya dari godaan duniawi...”


Fakhruddin Lahmuddin bersama kawan-kawannya dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Besar bersilaturrahmi ke Negeri Kelantan, Malaysia. Mereka ingin menjumpai seorang pemimpin rakyat yang mungkin sekali tak ada di daerah lain, apalagi di Aceh.

Namanya Tuan Guru Dato’ Nik Abdul Aziz bin Nik Mat. Lebih akrab disapa “Nik Aziz”. Dia menjabat Menteri Besar (gubernur) Negeri Kelantan sejak 20 tahun terakhir. Karena kepemimpinannya, oleh rakyat, ia digelar Umar bin Khattab-nya Kelantan. Musabab itulah, Fakhruddin dan kawan-kawan ingin belajar pada gubernur berusia 84 tahun itu.

Saat tiba di depan pendopo, rombongan disambut sekretaris gubernur; karena Nik Aziz sedang dalam perjalanan pulang dari Kuala Lumpur. Lalu mereka dipersilakan duduk di ruang pertemuan berkapasitas 200-an orang. Sungguh, mereka terpana. Kursi dan meja kayu, kipas dan mimbar usang, pula perabotan lainnya, tampak sederhana, jauh sekali dengan di Aceh atau provinsi lainnya.

Tak berapa lama kemudian Nik Aziz hadir. Ia berjubah putih (selalu demikian, menurut cerita warga Kelantan). Mereka selanjutnya beramah-tamah. Usai Fakhruddin dan kawan-kawan menyampaikan maksud kedatangannya, Nik Aziz pun berbicara.

“Nak jaga dan bangun Kelantan tak sulit bagi saya. Yang sulit adalah nak jaga diri saya dari godaan duniawi,” tutur Nik Aziz menanggapi penilaian Fakhruddin dan kawan-kawan tentang ketenteraman Kelantan, dimana mayoritas penduduknya Melayu asli.

Pernyataan tersebut memantik semangat Fakhruddin untuk terus mengorek sisi menarik lain dari seorang Nik Aziz. Ketua MPU Aceh Besar itu pun memerolehnya dari melihat sendiri maupun berdasarkan cerita penduduk Kelantan.

Pertama, begitu dilantik jadi Menteri Besar (MB) Negeri Kelantan, dinas pembangunan umum setempat segera menawari Nik Aziz untuk mengaspal dan memperbaiki jalan sekitar rumah dan pesantren miliknya. “Jangan, jangan! Kenapa sebelum saya jadi MB tak diperbaiki? Tak boleh,” tegasnya. Orang dinas terdiam.

Kedua, Nik Aziz selama jadi gubernur tak pernah tidur di pendopo. Ia menilai, kalau tidur di pendopo harus menyewa guard (satpam) dan tukang kebun, misalnya. Lalu pekerja itu digaji dengan uang negara, dimana uang itu seharusnya dipakai untuk menyejahterakan rakyat. Ia tak mau begitu. Gubernur Aceh sekarang juga tak mau tidur di pendopo, tapi berbeda tujuannya dengan Nik Aziz.

Ketiga, Nik Aziz tinggal di rumah yang sangat sederhana. Rumahnya berkonstruksikan kayu. Kecil. Padahal sampai kini ia sudah punya 10 anak dan 55 cucu dari istri tunggalnya. Fakruddin dan kawan-kawan terpana lagi ketika berkunjung ke rumahnya. Tak ada satupun pengawal yang jaga-jaga di rumah pemimpin salah satu negara bagian Malaysia itu.

Keempat, Nik Aziz pelayan tamu. Suatu kali ada wartawan asing ingin menjumpai Nik Aziz di rumahnya. Usai dipersilakan masuk oleh seorang lelaki tua, wartawan itu menunggu sang gubernur. Tak lama kemudian, lelaki tua tadi keluar dengan membawakan minuman.

“Saya ingin menjumpai Nik Aziz, apa dia ada di sini?” kira-kira begitu tanya si wartawan. “Inilah saya Nik Aziz yang kamu maksud,” sahut lelaki tua itu. Si wartawan terkejut dan malu. Lalu satu pertanyaan menarik darinya timbul lagi kemudian, “Anda seorang gubernur, apa tidak takut tinggal di rumah dengan tak ada seorangpun guard?” Dengan mantap Nik Aziz menjawab, “orang yang perlu pengawal adalah orang yang punya musuh, punya masalah. Saya tak punya masalah dengan siapapun. Guard saya adalah beribadah kepada Allah.”

Kelima, Nik Aziz turut membersihkan tandas (sebutan WC oleh orang Malaysia). Suatu kali, sekira jam 3 pagi waktu Malaysia, seorang santri melihat ada bayang-bayang seorang lelaki di sebuah WC pesantren milik Nik Aziz. Ia heran, yang membersihkan toilet seharusnya tugas santri. Begitu didekatinya, ternyata lelaki itu pemimpin pesantren tempat dia belajar, yaitu Nik Aziz. Ia merasa malu.

Keenam, suatu malam, seorang warga keturunan Cina kebingungan karena mobil yang dikemudinya mogok. Lalu sebuah mobil tua berhenti. Seorang lelaki tua turun dari dalamnya. Lalu membantu si Cina itu. Bahkan ditemani sampai ke bengkel. Esok pagi, ia terkejut. Ia melihat di koran, ada foto orang yang membantunya semalam. Ternyata lelaki tua itu Nik Aziz.

Begitulah Nik Aziz. Fakhruddin Lahmuddin menceritakannya beberapa hari setelah ia pulang dari Kelantan. Tepatnya, Ketua MPU Aceh Besar itu mengisahkan kepada saya pada Jumat 27 Mei 2011 yang panas, usai mengajar di Fakultas Dakwah IAN Ar-Raniry Banda Aceh. “Masih banyak cerita menarik lain tentang Nik Aziz selama jadi gubernur, cerita yang nyaris mustahil ada pada diri pemimpin di Indonesia maupun negara lain,” katanya. Dia tidak sedang berbohong.

Adakah calon gubernur di Aceh seperti Gubernur Kelantan itu?

Aceh di ambang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). “Sulit menemui calon pemimpin seperti Nik Aziz di Aceh, maka patut memilih yang mendekatinya,” kata pemimpin Ponpres Umardian itu.

Lalu dia menganalogikan pada seorang sopir bus penumpang yang mengalami situasi membahayakan. Tiba-tiba saja, sekitar tiga meter di depannya seorang lelaki tua sedang menyebrangi jalan dengan melangkah pelan, sendiri. Di kanan, bus lain berusaha menyalipnya. Sedang di kiri, ada jurang yang dalam. Sopir gamang. Kalau menabrak lelaki tua itu pasti mati. Kalau mengelak atau mengerem, bus pasti masuk jurang dan semua penumpang kemungkinan besar akan mati. “Pilih mana?”

“Begitu juga dalam hal memilih pemimpin,” katanya.

Bila seandainya semua calon pemimpin tergolong zalim–baik tingkat tinggi maupun rendah–, maka patut memilih satu pemimpin yang zalimnya paling rendah di antara lainnya. Bila pada cerita sopir di atas, lebih bagus menabrak seorang lelaki tua itu daripada masuk jurang lalu semua penumpang mati.

Kemudian Fakhruddin menyebutkan satu hadits sahih riwayat Bukhari yang artinya, “Rasulullah pernah bersabda, `Bantulah saudaramu yang zalim dan yang terzalimi`. Lalu sahabat rasul bertanya,`Ya Rasulullah, kami tahu bagaimana cara membantu orang yang terzalimi, tapi bagaimana kami membantu orang yang zalim?` Rasulullah menjawab, `cegah ia dari melakukan kemungkaran.”

Musim Pilkada banyak “orang zalim” yang minta dibantu saat pemilihan. Bila ada pemimpin–yang sudah bisa dipastikan kalau kepemimpinannya kelak akan menyengsarakan rakyat–meminta bantuan pada kita untuk memilihnya, maka bantulah dia.

“Caranya, jangan memilihnya saat pemilihan berlangsung. Jika kemudian ditanya kenapa tak bantu, cukup dijawab, ‘Saya sudah bantu Anda supaya tidak menjadi pemimpin yang zalim. Supaya kejahatan tidak terus bertambah. Maka saya bantu menguranginya dengan tidak memilih Anda saat pemilihan.’ Jika ada calon lain yang minta bantu juga, hadapi dengan cara yang sama,” katanya.

Maka jalan untuk menemukan Nik Aziz di Aceh akan terbuka meski dalam jangka waktu yang lama, dengan catatan konsep “Membantu orang zalim” itu  yang harus konsisten dipegang oleh seluruh rakyat Aceh. Jika tidak mau menjadi pemimpin yang munafik dan zalim, tentunya pemimpin di Aceh  mengikuti jejak Nik Aziz. Dan andai saja Nik Aziz Gubernur Aceh sekarang, maka kejayaan Aceh dapat diwujudkan.(Adelcom NGO Divisi Pemberitaan).


Sumber: atjehcyber.tk




ACEH DI TANAH MEKKAH AL-MUKARRAMAH

Aceh, 19 Juni 2011
Jam 15.00 Waktu Aceh (WA)
Adelcom News

”Asyi”, sebutan marga Aceh dikalangan orang Arab. Gelar Asyi ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas bagi seluruh orang Aceh di Arab Saudi yang sangat terhormat, sehingga gelar "al-Asyi" ini kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu marga Aceh yang wujud di Tanah Arab.

Sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.


Banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan bagus di kerajaan Saudi Arabia seperti alm Syech Abdul Ghani Asyi mantan ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Alm Dr jalal Asyi mantan wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi, DR Ahmad Asyi mantan wakil Menteri Haji dan Wakaf dan banyak sekali harta wakaf negeri Aceh sekarang masih wujud disana.

Kita akan menguak tradisi sumbang menyumbang masyarakat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia) pada abad ke-17 Masehi. Ini menarik agar kita tahu bagaimana kontribusi Aceh atas tanah hijaz (sekarang bernama Saudi Arabia, red), dimana orang Aceh tidak hanya mewakafkan tanah, melainkan juga emas yang didatangkan khusus dari Bumi Serambi ke negeri Mekkah Al-Mukarramah ini.

Diriwayatkan bahwa pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke 17 mengirim duta besarnya ke timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin. Kedatangan mareka ke Aceh setelah Raja Moghol, Aurangzeb (1658-1707) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat itu. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung katung di Delhi India. Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba di Aceh pada tahun 1092 H (1681M).

Sampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Di luar dugaan, kedatangan utusan syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah yang anti pemerintahan perempuan. Namun, karena sosok Sultanah Zakiatuddin yang ‘alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).

Utusan Arab sangat gembira diterima olehSri Ratu Zakiatuddin, karena mareka tidak mendapat pelayanan serupa ketika di New Delhi, India. Bahkan empat tahun mareka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb.

Ketika mereka pulang ke Mekkah, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, memberi mareka tanda mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.

Pada tahun 1094 (1683 M) mareka kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 H (September 1683 M). Dua orang bersaudara dari rombongan duta besar Mekkah ini yakni Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim, tetap menetap di Aceh atas permintaan para pembesar negeri Aceh yang dalam anti raja perempuan (Jamil: 1968). Mereka dibujuk untuk tetap tinggal di Aceh sebagai orang terhormat dan memberi pelajaran agama dan salah satu dari mereka, kawin dengan Kamalat Syah, adik Zakiatuddin Syah.

Lima tahun kemudian setelah duta besar Mekkah kembali ke Hijaz dengan meninggalkan Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim di Aceh, Sultanah Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah wafat tepat pada hari Ahad 8 Zulhijjah 1098H (3 Oktober 1688 M). Pemerintahan Aceh digantikan oleh adiknya yaitu Seri Ratu Kamalatsyah yang bergelar juga Putroe Punti. Dia diangkat menjadi Ratu pemerintahan kerajaan Aceh atas saran Syeikh Abdurrauf Al Fansury yang bertindak pada saat itu sebagai Waliyul-Mulki (Wali para Raja).

Baru setelah meninggalnya Syeikh Abdurrauf pada malam senin 23 Syawal 1106 H (1695M), konflik mengenai kedudukan pemerintahan Aceh dibawah pemerintahan ratu yang telah berlangsung 54 tahun sejak Safiatuddin Syah(1641-1675M), terguncang kembali. Hal ini dipicu oleh fatwa dari Qadhi Mekkah tiba. Menurut sejarah, “fatwa import” ini tiba dengan “jasa baik” dari golongan oposisi ratu. Lalu pemerintah Aceh, diserahkan kepada penguasa yang berdarah Arab, yaitu salah satu dua utusan Syarif dari Mekkah, yakni suami Ratu Kemalatsyah, Syarif Hasyim menjadi raja pada hari Rabu 20 Rabi`ul Akhir 1109 H (1699M).

Menurut sejarah, Ratu tersebut dimakzulkan akibat dari “fatwa import” tersebut. Lalu kerajaan Aceh memiliki seorang pemimpin yang bergelar Sultan Jamalul Alam Syarif Hasyim Jamalullail (1110-1113 H/1699-1702M). dengan berkuasanya Syarif Hasyim awal dari dinasti Arab menguasai Aceh sampai dengan tahun 1728 M. Inilah bukti sejarah bahwa kekuasaan para Ratu di Aceh yang telah berlangsung 59 tahun hilang setelah adanya campur tangan pihak Mekkah, paska para ratu ini menyumbang emas ke sana. Aceh yang dipimpin oleh perempuan selama 59 tahun bisa jadi bukti bagaimana sebenarnya tingkatemansipasi perempuan Aceh saat itu (Azyumardi Azra, 1999).

Terkait dengan sumbangan emas yang diberikan oleh Ratu kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa sejarah ini tercatat dalam sejarah Mekkah dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sultanah Aceh tiba di Mekkah di bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M). Snouck Hurgronje, menuturkan “Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Pada Tahun 1683” sempat kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, dimana sewaktu dia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Karena Kedermawaan Bangsa dan Kerajaan Aceh masa itu, Masyarakat Mekkah menyebut Aceh Sebagai "Serambi Mekkah" di sana.

Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih selalu hangat dibicarakan disana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin sedangkan sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.


Begitu juga tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.

Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjid Haram.
Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah. Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta-harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti :
  1. Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi'.
  2. Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah.
  3. Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng),
  4. Wakaf Muhammad Abid Asyi.
  5. Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi,
  6. Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina,
  7. Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina,
  8. Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina,
  9. Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah,
  10. Rumah Wakaf di Taif,
  11. Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah.
  12. Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,
  13. Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.
  14. Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya.
  15. Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah,
  16. Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.
Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah.Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang. Fenomena dan spirit ini memang masih sulit kita jumpai pada orang Aceh saat ini, karena tradisi wakaf tanah tidak lagi dominan sekali. Karena itu, saya menganggap bahwa tradisi leluhur orang Aceh yang banyak mewakafkan tanah di Arab Saudi perlu dijadikan sebagai contoh tauladan yang amat tinggi maknanya. Hal ini juga dipicu oleh kejujuran pengelolalaan wakaf di negeri ini, dimana semua harta wakaf masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia.

Sebagai bukti bagaimana kejujuran pengelolaan wakaf di Arab Saudi, Pada tahun 2008 Mesjidil haram diperluas lagi kekawasan Syamiah dan Pasar Seng. Akibatnya ada 5 persil tanah wakaf orang Aceh terkena penggusuran. Tanah wakaf tersebut adalah kepunyaan Sulaiman bin Abdullah Asyi, Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan), Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga), Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi.

Di Mekkah juga penulis sempat bertemu dengan Saidah Taliah Mahmud Abdul Ghani Asyi serta Sayyid Husain seorang pengacara terkenal di Mekkah untuk mengurus pergantian tanah wakaf yang bersetifikat no 300 yang terletak di daerah Syamiah yang terkena pergusuran guna perluasan halaman utara Mesjidil haram Mekkah al Mukarramah yang terdaftar petak persil penggusuran no 608. Yang diwakafkan oleh Syech Abdurrahim Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) dan adiknya Syech Abdussalam Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga).

Memang pada asalnya 75 persen tanah di sekitar Mesjidil Haram adalah tanah wakaf apakah itu wakaf khusus atau wakaf umum. Dan sebagiannya ada milik orang orang Aceh dulu dan ini bagian dari kejayaan Aceh yang pernah masuk dalam 5 besar negeri Islam di dunia bersama Turki, Morroko, Iran, Mughal India dan Aceh Darussalam di Asia tenggara.

Menurut peraturan pemerintah Saudi Arabia para keluarga dan nadhir dapat menuntuk ganti rugi dengan membawa bukti kepemilikan (tentu memerlukan proses yang lama ie menelusuri siapa nadhir tanah wakaf tersebut, penunjukan pengacara dll) dan bisa menghadap pengadilan agama Mekkah menutut ganti rugi dan penggantian dikawasan lain di Mekkah sehingga tanah wakaf tersebut tidak hilang. Kalau seandainya tidak ada keluarga pewakaf lagi khusus untuk wakaf keluarga maka sesuai dengan ikrar wakaf akan beralih milik mesjidil haram atau baital mal. Inilah pelajaran atau hikmah tradisi wakaf di Mekkah yang semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi pengelolaan wakaf di Aceh.

Itulah secuil catatan yang tercecer, tentang wakaf orang Aceh di Tanah Arab, walaupun generasi sekarang hanya mengenal bahwa Aceh adalah Serambi Mekkah. Namun sebenarnya ada rentetan sejarah yang menyebabkan Aceh memang pernah memberikan kontribusi penting terhadap pembinaan sejarah Islam di Timur Tengah. Karena itu, selain Aceh memproduksi Ulama, ternyata dari segi materi, rakyat Aceh juga memberikan sumbangan dan wakaf yang masih bisa ditelusuri hingga hari ini.

Karena itu, saya menduga kuat bahwa tradisi Islam memang telah dipraktikkan oleh orang Aceh saat itu, dimana “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”. Akibatnya, kehormatan orang Aceh sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa Snouck telah “berjasa” merekam beberapa akibat dari episode sejarah kehormatan orang Aceh. Inilah pelajaran penting bagi peneliti sejarah Aceh, dimana selain bukti-bukti otentik, sejarah juga bisa ditulis melalui oral history (sejarah lisan). Pelajaran ini sangat penting bagi generasi sekarang untuk melacak dimana peran orang Aceh di beberapa negara, termasuk di Timur Tengah.

Inilah sekelumit hasil muhibbah saya ke Arab Saudi dan saya benar-benar terkesima dengan pengakuan identitas "Asyi" dan pola pengelolaan wakaf di Arab Saudi. Selain ini, di dalam perjalanan ini, saya sempat berpikir apakah nama baik orang Aceh di Arab Saudi bisa sederajat dengan nama baik Aceh di Indonesia dan di seluruh dunia. Yang menarik adalah hampir semua negara yang saya kunjungi, nama Aceh selalu dihormati dan dipandang sebagai bagian dari peradaban dunia. (Adelcom NGO Devisi Pemberitaan).

*****Mekkah Tempo Dulu*****


Friday 17 June 2011

MENGENANG BIREUEN SEBAGAI IBUKOTA REPUBLIK INDONESIA

Juma't 17 Juni 2011
Waktu Aceh (WA) 20.00
Adelcom News


"Walau hanya seminggu, Bireuen pernah menjadi ibukota Republik Indonesia yang ketiga setelah Yogyakarta dan Bukittinggi jatuh ke tangan penjajah dalam agresi kedua Belanda. Namun sayangnya fakta sejarah itu tidak pernah tercatat dalam sejarah Kemerdekaan RI. Sebuah benang merah sejarah yang terputus"

Pendopo/Meuligo Bireuen.
Sekilas, tidak ada yang terlalu istimewa di Pendopo Bupati Kabupaten Bireuen tersebut. Hanya sebuah bangunan semi permanen yang berarsitektur rumah adat Aceh. Namun siapa nyana, dibalik bangunan tua itu tersimpan sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Malah,di sana pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno.

Kedatangan presiden pertama RI itu ke Bireuen memang sangat fenomenal. Waktu itu, tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta. Dalam waktu sekejap ibukota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden pertama Soekarno yang ketika itu berdomisili dan mengendalikan pemerintahan di sana pun harus kalang kabut. Tidak ada pilihan lain, presiden Soekarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh. Tepatnya di Bireuen,yang relatif aman. Soekarno hijrah ke Bireuen dengan menumpang pesawat udara Dakota. Pesawat udara khusus yang dipiloti Teuku Iskandar itu, mendarat dengan mulus di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.

Kedatangan rombongan presidendi sambut Gubernur Militer Aceh, Teungku Daud Beureu’eh, atau yang akrab disapa Abu Daud Beureueh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat (SR) juga ikut menyambut kedatangan presiden sekaligus PanglimaTertinggi Militer itu.

Malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan Leising (rapat umum) akbar. Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat di Keresidenan Bireuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu. Masyarakat Bireuen sangat bangga dan berbahagia sekali dapat bertemu mukadan mendengar langsung pidato presiden Soekarno tentang agresi Belanda 1947-1948 yang telah menguasaikembali Sumatera Timur(Sumatera Utara) sekarang.

Asal Muasal Sebutan Bireuen 
Sebagai Kota Juang.
Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen aktivitas Republik dipusatkan di Bireuen. Dia menginap dan mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan tanah Karo, di Kantor Divisi X (Pendopo Bupati Bireuen sekarang). Jelasnya, dalam keadaan darurat, Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta ke dalam kekuasaan Belanda. Disini kita secara jelas dapat melihat bahwa Pemerintah Republic Indonesia sudah berusaha menghapus sejarah kemerdekaan Republik ini, padahal jasa Aceh untuk kemerdikaan RI  merupakan titik penentu, padahal tanpa Aceh, RI harus menghapus sejarahnya terhadap Proklamasi kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.

Perlu saudara ketahui, kejadian ini tidak pernah ada dalam catatan/tersurat dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, padahal jika Pemerintah Indonesia menyadari bahwa tanpa adanya perjuangan bangsa Aceh maka catatan Proklamasi kemerdekaan Rebublik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak pernah bermakna.

Memang diakui atau tidak, peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen pada khususnya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Perjalanan sejarah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh dipusatkan di Bireuen.Di bawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berkedudukan di Bireuen. Pendopo Bupati Bireuen sekarang adalah sebagai kantor DivisiX dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai “Kota Juang”.

Kemiliteran Aceh yang sebelumnya di Kutaradja, kemudian dipusatkan di Juli Keude Dua (Sekitar tiga kilometer jaraknya sebelah selatan Bireuen-red) di bawah Komando Panglima Divisi X, Kolonel HusseinJoesoef, yang membawahi Komandemen Sumatera, Langkat danTanah Karo. Dipilihnya Bireuen sebagaipusat kemiliteran Aceh, lantaran letaknya yang sangat strategis dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur.

Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Juli Keudee Dua, Bireuen, itu silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank dibawah pimpinan Letnan Yusuf Ahmad, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank. Sekarang dia sudah Purnawirawan dan bertempat tinggal di Juli Keude Dua, Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Menurut Yusuf Tank, waktu itu pasukan Divisi X mempunyai puluhan unit mobil tank. Peralatan perang itu merupakan hasil rampasan tank tentara Jepang yang bermarkas di Juli Keude Dua Kabupaten Bireuen.

Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area pada masa agresi Belanda pertama dan kedua tahun 1947-1948. Juli Keude Dua juga memiliki nilai historis kemiliteran penting dalam mempertahakan Republik. Terutama di zaman Revolusi 1945. Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), yakni untuk mendidik perwira-perwira yang tangguh di pusatkan di Juli Keude Dua Kabupaten Bireuen, Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht) di Keude dua Juli inilah sebagai cikal bakal AKABRI sekarang.

Tugu Radio Rimba Raya.
Kendati usianya sudah uzur, Yusuf Tank masih dapat mengingat berbagai semua peristiwa sukaduka perjuangannya masa silam. Salah satu diantaranya tentang peranan Radio Rimba Raya milik DivisiX Komandemen Sumatera yang mengudara ke seluruh dunia dalam enam bahasa, Indonesia, Inggris, Urdu, Cina, belanda dan bahasa Arab. Dikatakan, "Radio Rimba Raya mengudara ke seluruh dunia 20 Desember 1948 untuk memblokade siaran propaganda Radio Hervenzent Belanda di Batavia yang yang menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Dalam siaran bohong Radio Belanda seluruh wilayah nusantara sudah habis dikuasai Belanda. Padahal, Aceh masih tetap utuh dan tak pernah berhasil dikuasai Belanda.Radio Rimba Raya (RRR) ini sebagai cikal bakal  Radio Republik Indonesia (RRI) sekarang.

Bukti Prasasti Radio Rimba Raya.
Dengan mengudaranya Radio Rimba Raya ke seluruh dunia, masyarakat dunia sudah mengetahui secara jelas bahwa Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Karena itu, saat kedatangan Presiden Soekarno ke Bireuen bulan Juni 1948, dalam pidatonya yang berapi-api di lapangan terbangC ot Gapu, Soekarno mengatakan,Aceh yang tidak mampu dikuasai Belanda dijadikan sebagai Daerah Modal Republik Indonesia. Selama seminggu Presiden Soekarno berada di Bireuen, kemudian bersama Gubernur Militer Aceh Abu Daud Beureueh berangkat ke Kutaradja. Di Kutaradja Gubernur Milter Aceh mengundang seluruh saudagar Aceh di hotel Aceh. Dia menyampaikan permintaan Presiden Soekarno agar rakyat Aceh menyumbang dua pesawat terbang untuk Republik.

Seulawah RI-001 dan RI-002
Presiden Soekarno sempat mogok makan   siang alias Ngambek  sebelum Abu Beureu’eh memberi jawaban, menyetujui permintaannya itu agar Aceh menyumbang dua pesawat terbang. Kesepakatan para saudagarAceh dengan Abu Daud Beureu’eh, mereka bersedia menyumbang dua pesawat terbang untuk Republik. Dengan sumber dana obligasi rakyat Aceh, yakni Pesawat Seulawah RI-001 dan RI-002. Kedua pesawat terbang sumbangan rakyat Aceh ini adalah sebagai cikal bakal pesawat Garuda Indonesia Airways (GIA) sekarang.

Oleh karena itu kami Lembaga ADELCOM  mengharapkan:
  1. Kepada pemerintah Aceh dan Pusat agar jangan mengkhianati ketulusan Bangsa Aceh yang telah memperjuangkan kemerdekaan Negeri ini, yang sampai saat ini anak cucu mereka masih hidup dibawah garis kemiskinan.
  2. Kepada generasi muda Aceh mari kumpulkan semua sejarah dan ukir dalam satu catatan penting, agar jati diri kita sebagai Bangsa Aceh tidak hilang, sehingga beradaban dan pengorbanan leluhur kita dapat kita jadikan sebagai modal untuk membangun kembali Aceh,  dengan sendirinya anak cucu kita akan dapat mengambil sikap untuk menentukan nasibnya dimasa yang akan datang.
Jika ada sumber sejarah dan situs Aceh baik di dalam dan luar negeri, harap dapat mengirimkan kepada kami melalui E-mail: adelcom_ngo@yahoo.com.(Divisi Pemberitaan Adelcom NGO)

GALLERY ACEH






Thursday 16 June 2011

KERAJAAN NEGERI DAYA





PEWARIS TAHTA KE-12
KERAJAAN NEGERI DAYA

Didirikan pada tahun 1480 M dengan raja pertama “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” atau lebih dikenal dengan julukan “Po Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang”


“RAJA SAIFULLAH”
Baginda Raja Saifullah sebagai pewaris tahta ke-12 Kerajaan Negeri Daya (mengenakan pakaian kuning) pada saat upacara kenegaraan di Negeri Daya 
pada 11 Zulhijjah 1432 H atau tangal 18 November 2010.


Disusun oleh:
ACHEH DEMOCRATIC LABOUR COMMUNITI
ADeLCom – NGO









KERAJAAN NEGERI DAYA


BERDIRINYA KERAJAAN NEGERI DAYA
Kerajaan Negeri Daya didirikan pada tahun 1480 M dengan raja pertama “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” atau lebih dikenal dengan julukan “Po Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang” yang membawahi empat kerajaan yang di persatukannya, yaitu:
  1. Kerajaan Negeri Keuluang.
  2. Kerajaan Negeri Lamno.
  3. Kerajaan Negeri Kuala Unga, dan
  4. Kerajaan Negeri Kuala Daya.

Kerajaan ini merupakan bagian dari kerajaan Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan oleh Sulthanah Siti Hur Khairil Barri Wal Bahriyah yang berkuasa pada tahun 1520 M – 1553 M.

Negeri Daya sebelumnya dikenal dengan Negeri Indra Jaya, karena pada abad ke V masehi, di pesisir barat Aceh, kalau sekarang berada di Kuala Unga dan Pante Ceureumen Kecamatan Jaya, Asal usul Negeri ini didirikan oleh keturunan raja Negeri Sedu yang melarikan diri dari serbuan armada China yaitu di Panton Bie yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar, dalam catatan:  
  1. Dalam catatan Marcopolo Negeri Indra Jaya disebut dengan “DAGROIAN”, Marcopolo sewaktu pulang dari Tiongkok singgah di negeri ini.
  2. Dalam kitab Mahabrata Negeri Indra Jaya disebut dengan BHARAT.
Negeri Indra Jaya dengan pusat pemerintahannya di Kuala Unga, sangat disayangkan sampai dua abad lamanya tidak diketahui sejarahnya, baru pada abad ke VII Masehi pelabuhan RAMI (EL-RAMI) di Lamno Negeri Indra Jaya ramai disinggahi kapal-kapal dagang Asing termasuk dari Negara Arab, Persia, Tiongkok dan India, dan pada abad ke VIII Masehi pelabuhan EL-RAMI di Lamno Negeri Daya sudah menjadi bandar yang rutin disinggahi oleh pedagang dari Negara Arab dan Yunani.

Pada abad ke X Raja Kerajaan Perlak yaitu Meuruah Pupok dengan gelar Teungku Sangob atau Meureuhom Unga  putera Makhdum Malik Musir Ibni Makhdum Malik Ishaq Ibni Makhdum Malik Ibrahim Johan Berdaulat, merebut kembali pusat Pemerintahan Indra Jaya dari pendudukan armada China, tepatnya di Gampong Keude Unga sekarang. dan pada abad ke XIV Masehi Kekuasaan Portugis di Negeri Keuluang dilumpuhkan oleh “Sulthan Alaiddin Ri’ayat Syah” dan membentuk Kerajaan Negeri Daya.  Pada masa kepemimpinannya Negeri Daya mengalami perubahan besar, rakyatnya hidup makmur dan sejahtera sekaligus merupakan puncak Kejayaan Negeri Daya.

ASAL KETURUNAN RAJA DI KERAJAAN NEGERI DAYA
Raja Negeri Daya Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah atau lebih dikenal dengan “Po Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang” adalah putra raja madat “Raja Pidie” yang menakluk Negeri Darul Kamal dan Kuta Alam, dan sekarang berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar, atau dalam sejarah lebih dikenal dengan nama “Sulthan Inayat Syah” putera raja “Abdullah Malikul Mubin”, selanjutnya keturunan ini menjadi cikal bakal Raja-raja di Aceh Darussalam, “Sulthan Inayat Syah” dikaruniai 3 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, 3 orang anak laki-laki yaitu:
  1. Sulthan Muzaffar Syah mewarisi Negeri Darul Kamal.
  2. Sulthan Munawar Syah mewarisi Negeri Kuta Alam.
  3. Sulthan Salathin Alaiddin Ri’ayat Syah menjadi raja di Kuta Madat, Negeri Pidie dan terakhir sebagai raja di Negeri daya, atau lebih dikenal dengan “Po Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang”. 

RIWAYAT SINGKAT KERAJAAN INDRA JAYA
SEBELUM DITAKLUK MENJADI KERAJAAN NEGERI DAYA.
Pada abad ke XI Masehi Negeri Indra Jaya kedatangan serombongan bangsawan dari samudera Pasai yaitu rombongan “Datuk Paghu” putera maha raja “Bakoi Ahmad Permala Syah” yang berkuasa di samudera pasai pada tahun 801-831 M, “Datuk Paghu” dianugerahi tiga orang putra, yaitu:
  1. “Johan Pahlawan” atau Syeh Johan”.
  2. “Datok pahlawan syah”.
  3. “Muda Perkasa”

Rombongan ini membuka daerah yang masih runyam dan membangun negeri baru, negeri yang dibangunnya dibagi kepada putranya, yaitu: 
  1. Wilayah Negeri Kuala Daya meliputi Lam Beusoe di kuasai dan diperintahkan oleh “Johan Pahlawan” Atau Syeh Johan”. 
  2. Wilayah Negeri Keuluang di kuasai dan diperintahkan oleh “Datok Pahlawan Syah” yang dikenal sebagai pemberani. 
  3. Wilayah Negeri Lamno, di kuasai dan diperintahkan langsung oleh “Datuk Paghu” dibantu oleh putranya yang bungsu yaitu “Muda Perkasa”.
Berkat kesungguhannya ketiga datuk ini dalam beberapa puluh tahun daerah kekuasaannya menjadi makmur dengan hasil kehutanan dan pertanian terutama di Negeri Keluang sangat  dikenal dengan Negeri penghasil Lada. Pada pertengahan abad ke XIII Masehi, Negeri Keuluang telah menjalin hubungan dengan Portugis sehingga semua hasil lada di Negeri Keuluang dimonopoli oleh portugis, dan pada akhirnya portugis menanamkan pengaruhnya dalam bidang politik pemerintahan Negeri Keuluang, sampai-sampai pada saat itu pahlawan menganggap dirinya sebagai Eropa (Portugis).

PENAKLUKAN KERAJAAN NEGERI INDRA JAYA 
MENJADI KERAJAAN NEGERI DAYA

Pada abad ke IV Negeri Indra Jaya kemudian disebut Negeri Daya dirintis oleh “Raja Abdullah Malikul Mubin” yang bertujuan untuk menciptakan keamanan dan menghalangi penjajahan di pantai barat Aceh oleh bangsa Portugis. “Raja Abdullah Malikul Mubin” diusianya yang sudah sangat tua juga keberadaannya sangat dibutuhkan pada pusat pemerintahan Aceh dan Pidie, karena “Inayat Syah” membutuhkan nasehat-nasehat beliau dalam menghadapi ancaman Portugis di wilayah utara, “Raja Abdullah Malikul Mubin” meninggalkan Negeri Daya secara mendadak dan kembali ke Aceh dan Pidie dan Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah yang waktu itu berkedudukan di Kota Madat diberi tugas untuk pergi ke Negeri Indra Jaya (Negeri Daya) bersama 300 bala tentaranya, yang bertugas sebagai:
  1. Pemersatu antara raja-raja di Negeri Indra Jaya, yang sedang diadu domba oleh Bangsa Portugis.
  2. Berdakwah untuk mengembangkan agama islam yang pada saat itu sudah tidak murni lagi di Negeri Indra Jaya (Negeri Daya).
Setibanya di Negeri Indra Jaya “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” pada satu tempat yang dikenal dengan “Beureuha” sekarang lebih dikenal dengan Pante Cermen, Imuem Beureuha dan Imuem Katong dapat ditundukkan, di tempat ini beliau dan bala tentaranya bermukim selama tiga musim panen, guna mempersiapkan perbekalan sebelum menakluk Negeri Indra Jaya, selanjutnya melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan rakit bambu melalui sungai yang airnya sangat deras menuju kewilayah pesisir Negeri Indra Jaya, sesampai di Negeri Lamno terjadi ketegangan dengan penguasanya yaitu “Datuk Paghu” dan puteranya “Muda Perkasa” dengan penuh kebijaksanaan “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” segera dapat mengatasinya, dan akhirnya  “Datuk Paghu” dan puteranya “Muda Perkasa” mengaku takluk. Kemudian melanjutkan perjalanannya sampai mendekati muara sungai, dan beliau mendarat pada satu tempat yang sampai sekarang di kenal dengan nama Gampong Darat. Raja “Johan Pahlawan” sebagai penguasa Negeri Kuala Daya, segera di hubungi oleh diplomasi jihad yang deplomatis sehingga Negeri Kuala Daya dapat ditaklukkan. Setelah menakluk dua Negeri ini beliau beserta rombongan melanjutkan perjalanan ke tujuan pokok yaitu menakluk Negeri Keuluang dan mengusir pendudukan portugis yang sedang merong-rong “Datuk Pahlawan Syah” tapi yang sangat menyedihkan “Datuk Pahlawan Syah” telah dibujuk dan diikat melalui bermacam-macam perjanjian oleh Portugis, ditambah lagi selera hidupnya yang ala eropa, sehingga berualang kali hubungan deplomasi yang di bangun oleh “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” dan bala tentaranya mengalami jalan buntu, dan pada akrhirnya terjadi pertempuran sengit, dalam pertempuran ini pada awalnya Portugis membantu sepenuhnya angkatan perang “Datuk Pahlawan Syah”, tapi pada saat posisi pertahanannya mulai dikuasai oleh pasukan “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” maka portugis mengkhianati “Datuk Pahlawan Syah” dan mundur ke Kuala Keuluang dan kembali kepangkalannya di Goa. Berkat kebijaksananaan baginda “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” tetap menempatkan “Datuk Pahlawan Syah” yang takluk tanpa syarat pada posisinya  semula, hanya saja urusan luar negeri dan perdagangan yang ditangani oleh baginda, ketentuan ini juga berlaku bagi “Datuk Muda Perkasa” dan Raja Johan Pahlawan.

Dengan ditakluknya Negeri Keuluang maka seluruh kekuatan “Datuk Paghu” telah bersatu, dan terbentuklah pemerintahan baru di Indra Jaya yang di pimpin oleh raja pertama yaitu : “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah”, dengan nama wilayahnya Negeri Daya.

Setelah tiga Negeri ini berhasil ditaklukkan, “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” mengirim utusan diplomasi ke Negeri Kuala Unga dan mengajak untuk bersatu di bawah bendera Negeri Daya, usaha ini tidak mengalami kendala yang berarti, sehingga diseluruh lembah Daya yang membentang:
  1. Utara dengan Glee Geurutee.
  2. Selatan dengan Krung No.
  3. Barat meliputi seluruh pesisir pantai.

PEMERINTAHAN NEGERI DAYA

Kepada empat Negeri yang telah ditakluk, “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” mengkoordinir keempat Negeri ini yang masing-masing memperoleh hak otonom untuk mengatur Kerajaannya sendiri, antara lain:
  1. Wilayah Negeri Kuala Daya meliputi Lam Beusoe tetap di kuasai dan diperintahkan oleh “Johan Pahlawan” atau Syeh Johan”.
  2. Wilayah Negeri Keuluang Lamno tetap di kuasai dan diperintahkan oleh “Datok Pahlawan Syah” yang dikenal sebagai pemberani.
  3. Wilayah Negeri Lamno, tetap di kuasai dan diperintahkan oleh “Muda Perkasa”.
  4. Wilayah Negeri Unga , tetap di kuasai dan diperintahkan oleh keturunan “Meurah Pupok” atau “ Teungku Disagob”.
Pusat pemerintahan (Ibu kota) Negeri Daya “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” menetapkannya di “Lamkuta” dan “Kuta Dalam” kedua tempat ini sekarang terletak di Gampong Glee Jong, Kemukiman Kuala Daya.

Untuk kelancaran administrasi pemerintahan “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” menetapkan jabatan dan satuan tugas serta mengangkat:
  1. Seorang dengan jabatan Wazir merangkap Katibul Muluk.
  2. Seorang dengan jabatan Hakim Tinggi.
  3. Seorang dengan jabatan Mufti Besar.
  4. Seorang dengan jabatan Panglima.
  5. Beberapa orang Menteri Negeri.
  6. Empat orang dengan jabatan Staf Sulthan dalam setiap sidang penting yaitu masing-masing dijabat oleh raja Negeri.

Dalam masa pemerintahannya, “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” telah mengukir sejarah karena dalam masa pemerintahannya telah mampu menciptakan kesejahteraan dan kejayaan bagi rakyatnya di Negeri Daya, pengembangan ekonomi Negeri Daya diciptakan melalui:
  1. Membangun dan mengembangkan usaha pertanian dengan membangun irigasi, percetakan sawah baru, yang dirintis sejak baginda mendarat di BEUREUHA.
  2. Menumbuh kembangkan sikap solidaritas di  Negeri Daya.
  3. Mendidik generasi muda sebagai tentara dan tenaga professional dalam rangka menjaga kedaulatan Negeri.
  4. Membuka usaha-usaha perkebunan dengan memfasilitasi modal usaha yang cukup kepada rakyatnya yang melakukan usaha disektor perkebunan.
  5. Mendirikan pondok pendidikan islam agar Rakyatnya dapat mendalami ilmu agama, karena sebelumnya telah berantakan.

Ditengah kesejahteraan dan kejayaan, rakyat Negeri Daya kembali berduka karena tepatnya pada 7 hari bulan Ra’jab 913 Hijriah baginda “Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah” wafat, dan dimakamkan dipuncak bukit di Gampong Gle Jong yang sejak saat itu diabadikan namanya yaitu Gle Kandang. Baginda meninggalkan dua orang anak, yaitu:
  1. Raja Unzir.
  2. Puteri Nurul Huda atau Siti Hur.
Raja Unzir menggantikan posisi ayahdanya untuk memerintahkan Negeri Daya,  dalam masa yang sangat singkat (hanya beberapa tahun saja), sedangkan Puteri Nurul Huda atau Siti Hur menikah dengan “Raja Ali Mughayat Syah” putera raja Aceh Darussalam “Sulthan Syamsul Syah” yang berkuasa pada tahun 902 – 916 Hijriah.


KERAJAAN NEGERI DAYA MENJADI 
KESATUAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM
“Sulthan Syamsul Syah” digantikan oleh puteranya “Sulthan Ali Mughayat Syah” berkuasa pada tahun 916 – 936 Hijriah atau tahun 1511 – 1530 Masehi, dalam masa pemerintahannya selalu disibukkan oleh berbagai kegiatan untuk memerangi Portugis diseluruh perairan Nanggroe Aceh Darussalam, sementara Adiknya “Raja Ibrahim” ditugaskan di wilayah Aru, guna membendung armada Portugis dibagian pesisir timur Nanggroe Aceh Darussalam, dengan jabatan “Raja Muda” dan “Raja Muda” wafat di Aru pada tahun 930 Hijriah.

Untuk menggantikan pimpinan di Aru baginda “Sulthan Ali Mughayat Syah” segera mengutuskan “Raja Unzir”, sehingga pada saat itu Negeri Daya tidak memiliki Pimpinannya, dan sejak saat itu pula Kedaulatan Negeri Daya menjadi kerajaan inti Aceh Darussalam, disamping Pidie yang dipimpin serta dikendalikan langsung oleh baginda “Sulthan Ali Mughayat Syah”, sebagai perwakilan pemerintahan di Negeri Daya baginda “Sulthan Ali Mughayat Syah” menetapkan Puteri Nurul Huda atau Siti Hur isterinya untuk menjalankan pemerintahannya di Negeri Daya. Tepatnya pada bulan Jumadil Awal tahun 931 Hijriah atau tahun 1526 Masehi “Raja Unzir” wafat di Aru.

Baginda “Sulthan Ali Mughayat Syah”  mangkat pada hari Selasa 12 Zulhijjah tahun 936 Hijriah atau 1530 Masehi, maka sejak saat itu  Puteri Nurul Huda atau Siti Hur isteri Baginda “Sulthan Ali Mughayat Syah”   berkuasa penuh di Negeri Daya pada tahun 93 - 960 Hijriah atau tahun 1530 - 1554 Masehi, dan beliau mangkat pada hari Kamis tanggal 11 Muharram tahun 960 Hijriah atau tahun 1554 Masehi.

Setelah mangkatnya Puteri Nurul Huda atau Siti Hur isteri Baginda “Sulthan Ali Mughayat Syah” sejak saat itu pula Negeri Daya mengalami kemunduran, ini semua disebabkan jauhnya hubungan dengan pemerintahan pusat, dan sering kali timbul peperangan antara empat raja di Negeri Daya, karena memperrebutkan pajak Lada, peperangan ini sering timbul sampai dua abad lamanya.

Semenjak Kerajaan Aceh Darussalam di perintahkan oleh “ Raja Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir” atau “Po Teu Jamaloy” Negeri Daya kembali mendapat perhatian khusus.


TRADISI PADA KERAJAAN NEGERI DAYA
“ Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir” atau “Po Teu Jamaloy” yang berkuasa pada tahun 1711 – 1735 Masehi, dalam mengambil kebijakannya kurang mendapat sambutan dan tidak disukai oleh Pembesar-pembesar kerajaan di Aceh,  sehingga baginda tidak memperoleh dukungan kuat untuk kekuatan pemerintahan pusat“ oleh karena itu baginda sering melakukan kunjungan-kunjungannya untuk mencari simpati dari raja-raja kecil yang merupakan kesatuan dari kerajaan Aceh Darussalam.

Baginda “ Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir” atau “Po Teu Jamaloy” melakukan lawatan khusus ke Negeri Daya untuk menertibkan pemerintahan yang sudah semeraut, sesampainya di Negeri Daya Baginda menghimpun semua raja-raja, kepala adat dan unsure lain yang ada kaitannya dengan pemerintahan Negeri Daya, pada kesempatan itu baginda menetapkan beberapa ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh segenap unsure di Negeri Daya, diantaranya:
  1. Kedaulatan Raja-raja di Negeri Daya tetap berjalan sebagaimana mestinya, hanya pajak usaha yang tetap disetor kepada Raja Aceh Darussalam.
  2. Keturunan hakim tinggi pada masa “Po Teumeureuhom” ditunjuk sebagai coordinator urusan kehakiman serta melakukan perdamaian jika terjadi perselisihan atau sengketa di antara Raja-raja di Negeri Daya.
  3. Untuk mengenang jasa “Po Teumeureuhom” menetapkan upacara agung yang diselenggarakan pada setiap 10 Zulhijjah sebagaimana yang selalu diselenggarakan oleh  “Po Teumeureuhom”, yaitu upacara “Seumuleng dan Peumeunab” merupakan upacara kenegaraan pada setiap tahunnya, dan ditentukan pula tata cara pelaksanaannya serta badan pelaksana dari turun temurun,.
  4. Dalam pelaksanaan upacara “Seumuleng dan Peumeunab” yang merupakan upacara kenegaraan,  sehingga ditetapkannya pula standard perlengkapan upacara, meliputi:
  • Sebidang tanah lapang sebagai alun-alun yang ditengahnya dibangun “balee astaka di Raja”  sebagai tempat pelaksanaan upacara, dan disekelilingnya untuk para pengunjung upacara.
  • Tidak jauh dari “balee astaka di Raja” dibangun “Balee Peuniyoh” untuk para tamu dan pembesar Negeri yang diundang untuk menyaksikan upacara.
  • Jauh sedikit dari “balee astaka di Raja” dibangun “Balee Meunaroi dan Jambo Dabeuh” yang digunakan sebagai tempat dihidangkan kenduri (makanan) dan tempat menyimpan benda-benda “Po Teumeureuhom” sebelum dipakai dalam upacara.Disebelah kiri pentas di Raja duduk para pemimpin peut sagoe Daya yaitu: Teuku Alue Encek, Teuku Muda Kuala, Teuku Datok Johan Syah Banda Meunaga (Kuala Daya), Teuku Datok Perkasa Lamno, dan Keturunan Datok Pahlawan Syah Keuluang.
Tata tertib upacara “Seumuleng dan Peumeunab” yang merupakan upacara kenegaraan, dilaksanakan sebagai berikut:
  • Raja memasuki “balee astaka di Raja” dengan diiringi oleh “Wazir” serta pembantunya dijaga oleh panglima. Para hadirin berdiri serta menyambut kedatangan Raja dengan meneriakkan “Daulad Tuanku”.
  • Raja mengambil tempat dan dua “Khadam” duduk mengipas raja.
  • Acara pembukaan oleh “Wazir” dan mempersilahkan raja untuk menyampaikan amanat kepada rakyatnya dan kepada para hadirin.Pembacaan “Do’a atau Khatam Payang” yang dibacakan oleh “Mufti Besar Negeri Daya atau Mahdum Syah Babah Dua”, atau oleh “Petua Mahkamah Agama Rantoe XII Keuluang Teunom yaitu Teungku Chik Rumpet”.

KERAJAAN NEGERI DAYA DIMASA YANG AKAN DATANG
Pewaris tahta ke-12 yaitu “Raja Saifullah”, bertekad untuk mengembalikan marwah Negeri Daya, serta menciptakan kemakmuran bagi rakyat di Negeri Daya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai islam yang bertujuan untuk mengembalikan kejayaan Negeri Daya sebagaimana masa leluhurnya.

Untuk mencapai maksud tersebut, Baginda Raja Saifullah selalu memperjuangkannya melalui Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya dan Pemerintah Aceh agar dapat mengalokasikan dana untuk membangun taman Kerajaan Negeri Daya, yang dilengkapi dengan fasilitas:

  1. Pelabuhan.
  2. Pagar keliling.
  3. Gerbang masuk dan Keluar.
  4. Jalan lingkungan.
  5. Pos Scurity.
  6. Gedung Mesium Kerajaan Negeri Daya.
  7. Monumen Kerajaan Negeri Daya.
  8. Mushalla.
  9. Gedung “Balee Astaka Di Raja”. 
10. Gedung “Balee Peuniyoh”.
11. Gedung “Balee Meunaroi”.
12. Gedung “Balee Jambo Dabeuh”.
13. Instalasi air bersih.
14. Taman mainan anak-anak.

Menurut Baginda Raja Saifullah, dana yang di keluarkan untuk pembangunan taman Kerajaan Negeri Daya, dapat memberi dampak yang sangat positif, diantaranya:
  1. Masyarakat di Negeri Daya akan sadar terhadap kedaulatan dan  kemampuan pendahulu mereka dengan diwariskan peradaban yang sangat berharga di abad ini, sehingga mereka akan tumbuh menjadi generasi yang aktif serta menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi leluhurnya. 
  2. Menjadi situs yang sangat bersejarah, dan akan menjadi objec Wisata di Kabupaten Aceh Jaya yang sangat diincar oleh turis manca Negara terutama Amerika Serikat, Inggris, Portugal dan Negara-negara Arab, dengan sendirinya menjadi Income bagi Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya. 
  3. Menjadi symbol (Icon) objek wisata di kabupaten Aceh Jaya, sehingga Daerah ini akan dikenal diseluruh dunia seperti sedia kala. 
  4. Sudah seharusnya menjadi prioritas pemerintah, karena Negeri Daya merupakan titik pertahanan wilayah Pantai barat Aceh dalam melawan Armada Cina dan penjajahan Portugis, serta Kerajaan Negeri Daya merupakan kerajaan inti Kerajaan Aceh Darussalam. 
  5. Pembangunan ini menjadi modal awal untuk menarik minat investor untuk berinvestasi di Kabupaten Aceh Jaya. 
  6. Negara yang maju adalah Negara yang menjaga Situs Peradabannya, yang merupakan peninggalan pendahulunya, dan akan kehilangan jati dirinya disaat dia mengabaikan peradabannya, dan hina dimata Negara lain yang menjaga peradabannya.
Selanjutnya Baginda Raja Abdullah, memperjuangkan kemandirian masyarakatnya dalam bidang ekonomi melalui pengembangan sector usaha di Bidang Pertanian, peternakan, Perkebunan, Perikanan, kelautan, perdagangan, industry rumah tangga dan bidang pertambangan serta menciptakan akses informasi, kegiatan ini diharapkan mampun menciptakan kesejahteraan dalam bidang kesehatan dan pendidikan, karena setelah ekonominya mapan sudah pasti Kesehatan dan pendidikan rakyat saya akan pasti dapat terpenuhi, kuncinya hanya pemberdayaan ekonomi yang perlu kita kembangkan.

Wassalam
Pewaris Tahta ke-12
KERAJAAN NEGERI DAYA



RAJA SAIFULLAH



Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More