Di Aceh hampir pada semua areal perkebunan masyarakat dapat di Tanami lada, secara tunggal (monocrop) tanpa naungan dapat ditanami pada kawasan lereng yang bercerun landai dan curam. Untuk kebun lada yang terletak di kawasan rendah dan mendatar, sistem parit perlu disediakan.
Masa yang paling sesuai menanam lada adalah di antara bulan Oktober hingga Deisember. bibit tanaman yang boleh digunakan ialah keratan tanpa akar, keratan berakar atau keratan dalam polibeg. Jarak antara tanaman yang ideal ialah 2.5m x 2.0m (2,000 pokok lada/hektar).
Team Work LSM ADeLCom berkomitmen untuk mencari alternative guna melakukan pengembangan ekonomi masyarakat Aceh melalui sector pertanian dan perkebunan, salah satunya pengembangan usaha tani lada. Dalam kesempatan ini kami mengajak saudara untuk mengetahui, mengerti, berjiwa besar serta jangan kenal lelah dalam berusaha untuk menggapai kembali kejayaan Aceh, berikut sebagai renungan saudara:
ACEH DAN MASA KEJAYAAN
Kerajaan Aceh berdiri dan muncul sebagai kekuatan baru di Selat Malaka, pada abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Para pedagang Islam tidak mengakui kekuasaan Portugis di Malaka dan segera memindahkan jalur perniagaan ke bandar-bandar lainnya di seluruh Nusantara. Peran Malaka sebagai pusat Perdagangan internasional digantikan oleh Aceh selama beberapa abad. Di Selat Malaka, Kerajaan Aceh bersaing dengan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaysia.
Kerajaan Aceh didirikan oleh Ali Mughayat Syah, adalah pendiri Kerajaan Aceh dan sekaligus sebagai raja pertamanya. Pada tahun 1514-1528 ia mulai bertakhta.
Letak Kerajaan Aceh di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Pada tahun 1520, Kerajaan Aceh berhasil menguasai Daerah Pasai, Deli, dan Aru. Penguasaan terhadap daerah-daerah tersebut menyebabkan Aceh dapat mengontrol daerah penghasil lada dan emas.Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 1636), Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan Aceh pada saat itu meliputi Semenanjung Malaya dan sebagian Sumatra, kecuali Palembang dan Lampung yang dipengaruhi Banten. Perdagangan di Selat Malaka berkembang pesat dan Aceh memiliki hegemoni atas Selat Malaka, walaupun Pelabuhan Malaka gagal dikuasai. Pelabuhan Aceh dibuka luas menjadi suatu Bandar transit yang dapat menghubungkan perdagangan Islam di dunia Barat.Pada masa Sultan Iskandar Muda ini juga dibangun masjid besar Aceh yang berdiri hingga saat ini yaitu Masjid Baiturrahman.
Secara ekonomi masyarakat Aceh mengalami perkembangan secara pesat. Hal ini disebabkan daerahnya yang subur. Kesuburan tersebut ditandai dengan dihasilkannya barang-barang ekspor lainnya seperti beras, timah, emas, perak, dan rempah-rempah di pelabuhan Aceh. Pada masa Sultan Iskandar Muda, ia berusaha mengembangkan tanaman Lada sebagai komoditas dagang utama. Agar harga lada di Aceh tetap tinggi, kebun-kebun di Kedah dibabat habis, sedangkan kebun lada di Aceh terus dipelihara. Dengan cara ini, pedagang-pedagang dari Barat hanya bisa membeli lada dari Aceh.
Dengan monopoli ini, Aceh memperoleh keuntungan yang besar. Kerajaan Aceh memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain, baik dari Barat maupun dari Timur. Pertukaran diplomat dan kerja sama ekonomi dengan Turki telah terbina sejak tahun 1582. Menurut Hikayat Aceh, Kerajaan Aceh telah mengadakan perjanjian politik dan dagang dengan Kamboja, Champa, Chiangmai, Lamer, Pashula, dan Cina. Selain itu, Aceh juga memiliki hubungan diplomatik dengan Prancis, Inggris, dan Belanda.
Kerajaan Aceh mengalami kemunduran sepeninggal Sultan Iskandar Muda, pada tahun 1636. Penggantinya Sultan Iskandar Thani (1637-1641), melakukan perluasan wilayah seperti yang dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya. Setelah itu, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan Aceh. Faktor lainnya yaitu perselisihan yang terus terjadi antara golongan Teuku dan golongan Tengku. Teuku adalah golongan bangsawan, sedangkan Tengku adalah pemuka agama. Kerajaan Aceh bertahan selama empat abad, sampai Belanda mengalahkannya dalam Perang Aceh (1873-1912).
ACEH DALAM DERAI AIR MATA
Bangsa Aceh menikmati kesejahteraan ekonomi melalui pertanian dan perdagangan bebas Aceh yang berpusat di pulau Sabang, hasil bumi Aceh seperti LADA, Cengkeh, Pala, Minyak Nilam, Merica, Kelapa, Kakau dan lain-lain semua dijual ke pasar international melalui sabang. Namun sekarang menjadi kenangan belaka karena tahun 1985 status perdagangan bebas melalui sabang dicabut. Pencabutan status Sabang sebagai pelabuhan bebas dilakukan penuh politis, karena pada saat itu pemerintah RI menilai apabila status Sabang masih sebagai pelabuhan bebas akan menggangu stabilitas politik di Aceh.
Dalam perjalanannya, dengan dicabutnya status Sabang, menambah ketegangan baru antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Aceh merasa dianaktirikan oleh Negara dan ekonomi Aceh juga berlahan-lahan mulai menurun.
Ketegangan hubungan ini direspon pemerintah pusat dengan diterapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. Namun bukannya redam, Operasi militer menambah kompleksitas konflik. Puncaknya pada tahun 1998, setelah Bangsa Indonesia mengalami krisis moneter dan juga pencabutan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, GAM mulai secara terang-terangan melawan pemerintah RI. Respon pemerintah selanjutnya dengan mengirim pasukan untuk mengendalikan pemerintah daerah. Namun keadaan Aceh semakin tak terkendali, hingga pada tahun 2003 pemerintah RI mengambil sikap menerapkan Darurat Militer di Aceh. Sejak itu ekonomi Aceh mengalami keterpurukan.
Tepatnya tanggal 26 Desember 2004 Gempa dan tsunami melanda Aceh, menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir Aceh. Musibah itu tak hanya merenggut ratusan ribu korban jiwa masyarakat Aceh melainkan juga menghancurkan sebagian besar insfrastruktur, permukiman, sarana sosial seperti gedung sekolah, ekonomi dan lain-lain. Bencana itu juga mempengaruhi kondisi sosial politik masyarakat Aceh, termasuk dampak psikologisnya.
Upaya pemulihan sektor ekonomi ini harus sejalan dengan semangat Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2006 di Helsinki Finlandia. Di mana dalam MoU tersebut, sektor ekonomi termasuk poin yang paling substansial dan penting untuk difikirkan. Hal ini akan membantu memulihkan ekonomi masyarakat Aceh.
Apalagi dalam MoU sudah ditegaskan, bahwa Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh; Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh; Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan bandar udara dalam wilayah Aceh; Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya; dan Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara. (lihat klausul ekonomi MoU).
Peluang dan akses yang terbuka seperti termuat dalam MoU jika benar-benar terlaksana akan menjadi modal Aceh dalam rangka membangun sektor ekonominya, sehingga masyarakat Aceh mendapat kesejahteraan dan kemakmuran. Belum lagi hal ini didukung oleh sistem perdagangan Aceh yang hebat dan bisa membuka akses ke semua negara. Impian masa depan Aceh yang gemilang seperti pernah menjadi pusat perdagangan dunia pada masa lampau akan kembali menjadi kenyataan.
Seperti dimuat dalam banyak buku sejarah, bahwa di Aceh dulunya sangat dikenal dengan tanaman lada sebagai komoditi yang diperebutkan di Eropa. Di setiap wilayah Aceh, masyarakatnya diminta untuk menanam lada, cengkeh dan pala. Komoditi-komoditi inilah menjadi andalan kerajaan Aceh, dan akhirnya melirik Aceh untuk memonopoli perdagangan lada. Malah karena persaingan pasaran lada itu, orang Belanda rela berperang dengan orang portugis yang sudah duluan membuka akses perdagangan dengan Aceh. (baca H.M Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, 1961)
Aceh membangun kontak dengan beberapa Negara luar seperti dengan Kerajaan Turki, Amerika, Singapura, Belanda dan Inggris. Aceh menjadi pusat perdagangan yang tumbuh pesat. Hasil alam Aceh pada umumnya menjadi komoditi ekport, dan menjadi rebutan Negara Eropa. Sector perdagangan ini yang perlu dihidupkan kembali untuk menciptakan kesehteraan dan kemakmuran bagi rakyat Aceh, sehingga Aceh bisa kembali menjadi pusat perdagangann dunia.
(Divisi Pemberitaan ADeLCom NGO)
0 komentar:
Post a Comment